Makassar, Komunikasi-Unifa.info - Kebudayaan kampus adalah kebudayaan yang mencerdaskan, ia berikan kemerdekaan berfikir, tak ada minoritas dan mayoritas, kampus adalah sarana dialog sehat, sehingga ada kelezatan intelektual lebih terasa tanpa ada perundukan rasa takut atau was-was. Itulah kampus menurut saya, pembangunan karakter harus kita wujudkan bukan hanya menjadi "Platform" yang indah, terpampang dalam jalan menuju kampus kita saja. Kita bicara karakter, tetapi tak ada yang bicara dalam perbaikan dan penerapan.
Terlau banyak program untuk mahasiswa baru, tetapi lumpuh dalam penerapan, tentu saat kita sebagai mahasiswa atau senior menunjukan contoh dan tauladan kepada junior, bahwa karakter adalah sesuatu yang perlu didik, bukan biarkan terajar dalam kesendirian.
Sesungguhnya pengajaran dan pendidikan itu berbeda, begitulah kata Buya Syafie Ma’rif pengajaran berhubungan dengan lahriah dan pendidikan berhubungan dengan tangungjawab batiniah.
Senior dan Junior, kata-kata ini selalu menguat pada masa Ospek (Bina Akrab) sehingga banyak yang mencari momentum, menunjukan eksistensi atau jati diri di depan juniornya. Itu adalah hal yang biasa, saya tak akan kritik persoalan ini, karena teori kebutuhan Abraham Maslow, menegaskan tentang kebutuhan eksistensi diri ini bahwa setiap manusia ingin diakui keberadaanya oleh orang lain. Dalam dunia kampus, senior ingin diakui bagaimana dirinya begitu tangguh di depan juniornya. Tetapi kita cendrung harus bertanya eksistensi seperti apa yang harus kita tunjukan, eksistensi yang "basi nilai", atau eksistensi yang kenal substansi dan inspirasi.
Pekerjaan rumah universitas, juga harus kita tumpahkan kepada senior-senior yang menjadi panitia Ospek (Bina Akrab) di kampus, masalah karakter bukan saja masalahnya Dosen Agama dan Kewarganegaraan. Tetapi juga seniornya!. Sehingga ada istilah yang harus kita basmi"pemberhalaan senior", senior jangan menjadi dewa yang dipuja-puja tanpa salah, senior itu ajarkan inspirasi kepada juniornya, ia tak ajarkan sesuatu yang buruk dan menyesatkan persahabatan, mengajarkan juniornya pendendam sebab hari ia dipukul, ia ingin balas tahun depan.
Jadi senior adalah sesuatu yang tak mudah, jangan panggil mereka senior jika mereka belum bisa menjawab pertanyaan juniornya, tetapi jangan langgar etika penghormatan kemanusian. Menjadi senior tak semudah menghardik anak baru, dan katakan se-enak perut pada hari perkenalan mereka, lalu pada waktu yang lain ia bertanya akan pelajaran, kita malah seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa kita hanya menjadi abang dan kakak yang duluan masuk saja, tanpa ada bisa menjadi contoh bahwa inilah senior.
Seperti istilah Bapak Bangsa, mungkin banyak orang yang menjadi bapak, tetapi tak seberapa yang menjadi bapak bangsa, begitu juga dengan senior kampus, apakah kita hanya menjadi panitia ospek yang menghardik dan mencari kesalahan adik-adik baru, atau menjadi senior kampus yang menjadi inspirasi junior sampai kapanpun bukan hanya saat ospek berlangsung dan ketika ospek selesai maka para panitia menjadi orang yang dibenci juniornya.
Kalau bicara tes mental bukan seperti itu cara, tantang dulu seniormu demonstrasi dan bicara didepan umum baru persilahkan ia menghardikmu, karena mental itulah yang perlu didik bukan mental anak belanda yang menghajar siswa peribumi ketika masuk sekolah di masa silam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H