Spirit anatomi dan substansi Undang - Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengisaratkan dua hal penting dan mendasar, yaitu keberadaan lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran komunitas benar-benar dijamin eksistensinya. Dalam isarat yang sama, lembaga penyiaran swasta dibatasi. Namun dalam implementasinya, secara realitas isarat itu menunjukkan secara nyata sebuah anomali, inkonsistensi dan standar ganda. Kementrian komunikasi dan informasi/kemenkominfo, sebagai leading sector dan landscape penyiaran Indonesia nampak begitu lemah tak berdaya, bahkan menimbulkan kesan kuat telah dikooptasi oleh kekuatan kapital. Maka akibatnya, bukannya sistem penyiaran demokratis yang muncul, tapi justru konsentrasi lembaga penyiaran berada ditangan segelintir orang. Dan parahnya lagi, kuatnya dominasi tv Jakarta sebagai akibat tidak ditegakkannya sistem siaran berjaringan sesuai amanah dan spirit undang-undang tersebut. Ketidakberimbangan kompetisi dan sumberdaya ini kemudian membuat tv lokal dalam situasi yang sangat sulit, suara ditingkat lokal tidak terepresentasi dengan baik dan optimal.
Kansolidasi semakin kuat
Konsolidasi bisnis penyiaran di Indonesia telah berkembang luas dan mengarah pada keserakahan dan pemupukan capital tanpa mempertimbangkan rasa keadilan dan kepentingan public/masyarakat luas, yang berimplikasi pada konsentrasi kepemilikan media penyiaran oleh segelintir orang/badan hokum. Saat ini hanya ada 12 kanal media di Indonesia (Nugroho,2012) yaitu MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Group Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, BeritaSatu Media Holdings, Group Media, MRA Media, Femina Group dan Tempo Inti Media.
Pola kepemilikan yang menonjol di lembaga media penyiaran khususnya ‘nasional berjaringan’ yaitu pertama, pola kepemilikan langsung yang diperoleh seseorang atau badan hokum atas badan hukum yang lain melalui mekanisme pembelian saham baik melalui pasar saham (bursa efek) ataupun tidak. Besaran saham akan berkorelasi dengan besarnya kendali atau control individu terhadap badan hukum lainnya. Kepemilikan langsung yang tidak melalui bursa saham dilakukan dengan mendirikan atau membeli televisi lokal independen secara langsung. Kepemilikan seperti ini tidak jelas pola kepemilikannya. Kedua, pola kepemilikan tidak langsung, yaitu jika suatu holding company membeli saham suatu perusahaan yang berada dibawah anak perusahaannya. Dalam kasus ini, banyak badan usaha penyiaran yang berdiri sebagai anak perusahaan karena adanya ‘hak istimewa’. Berdasarkan PP No 50 tahun 2005, tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, lembaga penyiaran komersial yang telah mengoperasikan sampai dengan jumlah stasiun relay yang dimilikinya sebelum ditetapkan PP tersebut, padahal di undang undang penyiaran pasal 18 ayat 1 disebutkan bahwa kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik satu wilayah siaran maupun dibeberapa wilayah siaran, dibatasi. Dan dipertegas pula dengan pasal 34 ayat 4 yaitu izin penyelenggaraan penyiaraan dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain. Juga ini diperkuat oleh keputusan MK no 78/PUU-IX/2011 sudah sangat jelas bahwa kepemilikan lembaga penyiaran dibatasi sebagaimana termaktub dalam PP No 50 tahun 2005.
Ketika barang publik bernama frekuensi dikuasai oleh segelintir pengusaha besar yang memiliki akses ekonomi dan politik, maka Negara dan masyarakat menjadi lemah. Kepemilikan media siaran Indonesia hingga akhir tahun 2003 misalnya, sudah mengarah ke bentuk oligopolies, yang dalam praktek sistem demokrasi ini adalah praktek yang jahat atau tercela. Kebijakan dan pengaturan yang perlu dilakukan adalah pertama, klausul yang mengatur kepemilikan televisi ‘nasional berjaringan’ perlu secara eksplisit dituangkan dalam undang-undang penyiaran, tujuannya untuk mendorong perkembangan televisi lokal dan mengembalikan televisi lokal sebagai milik masyarakat lokal. Kedua, klausul perlu secara jelas mengatur mekanisme dan pembatasan jual beli saham perusahaan penyiaran.
Frekuensi Milik Lokal didominasi Televisi “ Nasional Berjaringan”.
Konsolidasi perusahaan memiliki dampak langsung pada coverage area atau market share. Ini disebabkan kepemilikan dan jangkauan transmitter perusahaan menjadi berlipat ganda dalam menjangkau masyarakat ketika perusahaan tersebut bergabung ditambah perusahaan tersebut memiliki televisi di daerah. Pencapaian luas coverage area dalam perspektif lokal dinilai tidak adil, ini juga terkait dengan rebutan kue iklan yang menyebabkan programming televisi lokal harus mengikuti/menyesuaikan dengan program televisi ‘Jakarta’.
Dalam ranah ekonomi, teori kepemilikan yang berkecenderungan monopolis atau oligopolies menyebabkan surplus masyarakat diambil, artinya pengusaha mengambil keuntungan berlebih, tidak dalam tingkat yang wajar. Ini menjadi bias ketika diukur dengan tiga hal, yaitu pertama, surplus konsumen diambil oleh pihak swasta bukan atas dasar kualitas, kedua, kepemilikan yang terbatas cenderung menyebabkan akumulasi kapital hanya dinikmati oleh segelintir pemilik media siaran, ketiga, ketika terjadi akumulasi kapital, maka para pemilik media siaran memiliki pula kesempatan amat terbuka untuk melakukan akumulasi kekuatan politik. Kecenderungan bisnis monopolis dan oligopolies juga mengancam persaingan iklan yang sehat. Masyarakat menderita kerugian yang tidak bias dikuantifisir nilainya, misalnya kerugian hilangnya kearifan lokal dan bahasa lokal.
Atas bahaya tersebut, maka media penyiaran perlu diatur dengan ketat, dengan cara ; pertama, persoalan perampasan dan dominasi frekuensi milik publik lokal oleh televisi ‘jaringan berbayar’ perlu dilakukan dengan mengembalikan frekuensi lokal kepada yang berhak yaitu publik lokal. Kedua, regulator perlu mengatur mekanisme untuk mendeteksi ada tidak adanya manipulasi terkait dengan pendirian dan kepemilikan televisi lokal. Ketiga, peraturan distribusi iklan diwilayah lokal dengan memuat ketentuan, perusahaan-perusahaan pengiklan yang menginginkan siaran iklannya mengacu daerah harus bekerjasama dengan televisi lokal.
Politik Redaksional Bias Pemilik.
Konsolidasi yang melahirkan variasi pola-pola kepemilikan media penyiaran diikuti pula oleh suatu sistem pengendalian dan kontrol yang ketat baik disisi pemilik modal maupun managemen. Ada dua macam model pengendalian dan kontrol, yaitu pertama menempatkan orang-orang ‘kunci’ yang memiliki modal atau hubungan dengan pemodal diberbagai struktur organisasi yang berada dalam satu group. Kedua, melakukan perbatasan saham pada anggota televisi ‘nasional berjaringan’ yang berkedudukan didaerah-daerah.
Motif pemilik dalam melakukan intervensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu motif ekonomi dan motif politik. Kepemilikan media memberikan keuntungan ekonomis disaat yang sama ia menggenggam kekuasaan yang sangat besar karena kemampuannya dalam membentuk opini publik, citra-citra dan membangun suatu wacana tertentu. Seorang pemilik media mungkin tidak mendapatkan keuntungan yang memadai dari institusinya, namun tetap dipertahankan karena nilai ‘politiknya’. Kemampuan media dalam membangun suatu konstruksi sosial jelas memberikan kekuasaan bagi para pemilik dan pekerja media, karena dengan media orang dapat membangun suatu konstruksi tertentu dengan cara yang sangat meyakinkan. Hal ini telah memaksa para penguasa politik untuk berbaii-baik dengan para pemilik media, namun disisi lain para pemilik media itu memerlukan keamanan bisnis, maka disini terjadi simbiosis mutulaisme diantara penguasa dan pemilik media.
Kecenderungan untuk menggunakan televisi sebagai ‘alat’ penggebuk atau melindungi pemilik dari beragam kepentingan juga terjadi dalam politik, yaitu televise tidak hanya digunakan pemilik untuk mematut-matut diri demi citra yang baik, tapi juga tanpa ragu digunakan untuk menggebuk lawan-lawan politiknya atau setidaknya menenggelamkan dari liputan, maka popularitas pesaingnya akan menurun. Rivalitas politik pun kemudian hadir diruang redaksi. Disini para pemilik media tidak hanya berupaya menurunkan popularitas ‘rival’ politiknya, tapi ada taktik ‘meninggikan setinggi-tinggi dirinya dan menenggelamkan sedalam-dalamnya lawan politiknya’.
Negara Harus Membangun Lembaga Penyiaran Publik Yang Kuat.
Terlalu dominannya lembaga penyiaran swasta tidak baik bagi demokrasi, dan usaha membangun budaya sosial yang sehat. Maka lembaga penyiaran swasta memerlukan penyeimbang, yaitu lembaga penyiaran publik.
Di seluruh dunia, lembaga penyiaran publik identik sebagai media utama atau minimal penyeimbang dari media komersial yang hanya mementingkan eksplorasi profit dan tidak mendidik khalayak. Meminjam istilah filsuf Habermas; menjadi public sphere yang setara dan partisipatif. Dalam kerangka itu, media penyiaran public diluar negri diatur secara kuat, netral, independen dan professional.