Lihat ke Halaman Asli

Keberanian dan Terobosan Politik Gubernur Ahok Soal Gaji Lurah dan Kepala Dinas

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14187817051681854740

[caption id="attachment_383237" align="aligncenter" width="620" caption="Basuki Tjahaja Purnama (Foto: Kompas.com)"][/caption]

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perubahan Keenambelas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil adalah isu penting dan menjadi hangat seputar perkembangan dunia birokrasi sipil. Peraturan tersebut adalah produk keputusan pemerintah pusat semasa kepemimpinan Presiden SBY, setidaknya ini merupakan kebijakan yang baik dan cukup menggairahkan bagi kalangan PNS yang mengabdikan dirinya bagi negara untuk melayani kebutuhan dan kepentingan publik secara luas dan menyeluruh, sebagaimana pendapat ahli Harold Maxwell, bahwa pada hakikatnya manusia itu memiliki kebutuhan dan kepentingan yaitu tentang kekuasaan, kekayaan, penghormatan, kesehatan, kejujuran, keterampilan, pendidikan, dan kasih sayang.

Beberapa hari yang lalu, Gubernur Ahok tampil percaya diri dan mengesankan didepan publik pada sebuah wawancara khusus dengan Kompas, senin 8/12/2014, dengan kutipan pernyataannya, yaitu  “ Kami ingin mendongkrak gaji lurah hingga Rp 25 juta per bulan. Mereka perlu gaji tinggi karena mengurusi orang mulai dari lahir hingga lansia. Sementara para kepala dinas akan diberi gaji Rp 60 jt per bulan”. Lebih lanjut Gubernur Ahok menjelaskan bahwa mesin kerja birokrasi berada dilevel kelurahan, sedangkan camat adalah manager, “ adapun kepala dinas menjadi pembimbing teknis. Lurah itu seperti estate manager yang menyerupai kepala panti karenan mengurusi orang dari janin sampai lansia “ begitu kata Ahok. Pendapat Ahok selanjutnya adalah Lurah itu seperti pemborong, artinya pola kerja dengan cara subkontrak kepada pihak lain itu harus ditinggalkan, “ pejabat yang selama ini menikmati honor tidak akan bisa terima lagi. Tahun depan kami potong honor mereka sampai total Rp 2,3 Trilyun. Selama ini mereka menerima honor-honor yang tidak perlu. Ini bagaikan ‘hujan yang tidak merata’ di birokrasi Jakarta” Papar ahok.

Atas tiga kutipan Gubernur Ahok, yang menurut saya cukup menggelitik.   Menggelitik atas dua perspektif, pertama dari perspektif politik. Gubernur Ahok tentu sudah memperhitungkan dengan sangat matang dan cermat tentang gagasan fantastis ini, bukan saja dari aspek perhitungan matematis dan akuntansi semata, tapi lebih kepada kalkulasi politik jangka panjang. Sebagai Kepala Daerah, Ahok tentu memiliki kewenangan yang ‘khas’ dan legitimasi yang kuat untuk memproduksi sejumlah kebijakan terutama yang berfokus pada tata kelola pemerintahan di tubuh internal birokrasi Jakarta. Kewenangan sebagai salah satu sumber kekuasaan dalam konsep politik, sebagaimana yang diteorikan oleh Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam Power and Society bahwa kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Kewenangan biasanya dihubungkan dengan kekuasaan, dimana penggunaan kewenangan secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas organisasi, pendapat ini diperkuat pula oleh Robert Bierstedt dalam bukunya an analysis of social power , bahwa kewenangan adalah kekuasaan yang dilembagakan. Artinya, kebijakan Gubernur Ahok sudah selaras dengan teori ini.

Namun, dari sisi pragmatisme politik, tentu kebijakan ini bukan tanpa alasan, sebab kesan yang ditangkap oleh publik adalah terkandung muatan politik pencitraan Gubernur Ahok, dimana ia akan, sedang dan terus menerus mencitrakan dirinya sebagai pemimpin berani dan inovatif, dalam rangka melanggengkan dan mempertahankan kekuasaan politiknya, paling tidak untuk lima tahun pertama. Ya, lima tahun kedua sudah barang tentu Gubernur Ahok memproyeksikan dirinya untuk ‘duduk’ kembali sebagai orang nomor satu di ibukota Republik ini. Dan itu sah-sah saja, selama warga Jakarta terpikat akan pesona Gubernur Ahok. Pertanyaannya kemudian adalah, adakah political will dari segenap mayoritas anggota DPRD DKI Jakarta atas gagasan fantastis Gubernur Ahok ini? Bagaimana cara menuangkan secara praksis politik tentang Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2014 kepada warga Jakarta sebagai subjek pelayanan, dimana Lurah sebagai ujung tombak public service dan kepala dinas sebagai pembimbing teknis ? Tentu ini menjadi pemikiran kita bersama.

Kemudian yang kedua adalah perspektif budaya birokrasi. Kita tahu, bahwa budaya masyarakat Indonesia pada umumnya adalah budaya patron client dimana didalamnya terkandung fatsoen politik. Budaya ini tentu melekat pula bagi mereka yang notabene berprofesi sebagai PNS alias birokrat. Budaya ini sangat akut dan laten seiring pergantian kepemimpinan penguasa itu berlangsung. Gubernur boleh berganti secara periodik, tapi sistem dan mesin birokrasi berputar searah garis waktu dimana para pelakunya (birokrat) berhenti disaat pensiun tiba.

Menurut Prof. M. Ryaas Rasyid dala bukunya Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan & Politik Ore Baru, proses penempatan seorang birokrat dalam jabatan birokrasi belum sepenuhnya didasarkan pada pedoman tentang pola karir yang jelas dan dipegang secara objektif, misalnya penetapan eselon pada jabatan-jabatan struktural birokrasi pemerintahan hanya terbatas pengaruhnya pada perumusan syarat-syarat kepangkatan minimal dan maksimal yang melekat pada jabatan itu. Hal yang paling nampak adalah, kuatnya ikatan dan penghayatan secara emosional psikologis pada seorang birokrat terhadap kekuasaan yang melekat atas jabatannya, sehingga cenderung mengesankan terjadinya ‘perkawinan’ antara seorang birokrat/pejabat birokrasi dengan jabatannya. Bisa kita bayangkan, dalam konteks gagasan Gubernur Ahok, seorang lurah dan kepala dinas yang di gaji tinggi sebesar Rp 25 juta dan Rp 60 juta per bulan kemudian ia menghayati betul tentang kekuasaan jabatan nya itu? Tentu –mungkin- akan ada banyak orang yang berbondong-bondong untuk ngantri melamar – minimal- menjadi Lurah di Jakarta. Apakah ada jaminan bahwa gaji tinggi seorang birokrat lantas linier dan sebangun dengan perubahan mentalitas, etos dan kinerja untuk mem’primer’kan layanan bagi masyarakat ? kita tunggu fakta dilapangan yang sesungguhnya.

Namun terlepas dari itu semua, saya punya kewajiban untuk mengapresiasi akan dua hal tentang gagasan Gubernur Ahok, yaitu ia sungguh berani dan sarat dengan terobosan politik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline