Lihat ke Halaman Asli

Selamat Natal ?Ahhh, Gitu Aja Koq Ribut,..

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seorang Pemikir Filsafat, Jujun S. Suryasumantri, menegaskan bahwa kemampuan menalar yang dimiliki manusia menyebabkan manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Penalaran, menurut Jujun adalah proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang akan menghasilkan pengetahuan yang ditempuh melalui proses berpikir sebagai upaya untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Keneth T. Gallagher memaknai pengetahuan sebagai sui genis atau sesuatu yang berhubungan dengan apa yang paling sederhana dan paling mendasar. Artinya, jika seseorang mendefinisikan sesuatu berarti ia menempatkan sesuatu itu pada istilah-istilah yang paling sederhana agar mudah dipahami, maka pengetahuan merupakan peristiwa yang paling mendasar dan tidak dapat direduksi lagi, sehingga pengetahuan sulit dijelaskan dengan istilah yang lebih sederhana dari istilah pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan seseorang tentu dilandasi dengan seperangkat daya nalar yang sehat dan kebeningan hati ketika ia menyampaikan sesuatu yang ia yakini BENAR, namun BENAR nya ia seketika dibatasi oleh BENAR nya pihak yang lain dengan garis penalaran yang berbeda. Maka disinilah muncul tradisi gap yang dilanggengkan karena klaim-klaim kebenaran. Lantas apa relevansinya dengan judul diatas?ya, saya coba ‘memaksakan’ kehendak untuk menghubung-hubungkan judul diatas dalam kerangka nilai-nilai kebangsaan dan humanisme, tentang sebuah Indonesia yang pluralis.

Republik ini bisa eksis ditengah-tengah dunia Internasional atas ijtihad politik para founding father, ini yang melandasi makin kuatnya Indonesia karena dibingkai dalam performa Bhineka Tunggal Ika, spirit pluralisme dan ideologi Pancasila yang kita anut hingga hari ini. Persoalan bahwa kita suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, itu adalah persoalan kemudian.

Natal, adalah peristiwa keagamaan umat Kristiani dimana mereka memiliki hak otoritas untuk merayakan dengan penuh syahdu dan gegap gempita. Tentu lebih dari sekedar itu, didalamnya termuat rasa optimisme, pemaknaan terhadap sejarah, pergumulan entitas budaya dan peradaban, berbagi kegembiraan, perluasan keteladanan, menumbuhkan semangat heroisme kepada sang 'Idola', ucapan rasa syukur kepada Tuhannya, dan lain sebagainya. Lantas adakah yang salah ketika seorang muslim mengucapkan Selamat Natal kepada saudara kita yang notabene seorang Kristiani? Pertanyaan ini relatif sulit untuk dijelaskan. Tapi sekedar untuk berwacana, Insya Allah, tentu wacana ini tidak ada yang salah.

Republik ini sudah terlalu lama berjalan tergopoh-gopoh dan terseok-seok untuk memikul beban polemik yang tak pernah ada ujung pangkal bahkan solusinya, tentang sebuah tema yang selalu seksi dan sensitif untuk diperdebatkan, yaitu Ucapan Hari Natal.

Tulisan ini, tentu diinspirasi oleh Kompasianer Bung Gunawan, salahsatu penulis produktif pujaan kita bersama, yang dalam tulisan nya menyitir tentang FPI : Jokowi Murtad jika Ucapkan Selamat Natal, Fahri Hamzah mengucapkan Selamat Natal dan Walikota Bandung Ridwan Kamil turut serta merayakan Hari Natal bersama PGPK.

Natal, adalah ageda tahunan yang didalam kalender Masehi jatuh pada tanggal 25 Desember. Momentum ini tentu tidak bisa kita tolak kehadirannya. Bahwa kemudian ada pejabat negara atau sebagian kelompok masyarakat Muslim yang mengapresiasi perayaan Natal dengan Ucapan Selamat, tentu ini sebuah bentuk kesalihan sosial atas keyakinan, kesadaran dan sudut pandangnya sebagai pribadi Muslim dalam terminologi bahwa Islam adalah Agama yang ‘Rahmatan Lil ‘Alamin’. Adalah sangat absurd/tidak masuk akal - dalam konteks penalaran dan pengetahuan manusia yang beragama - ketika seseorang mengucapkan ucapan selamat hari Natal kemudian seketika itu pula diberi label ‘murtad’. Dalam bacaan saya, pejabat negara semacam Presiden misalnya, atau politisi di senayan, Gubernur, Bupati/Walikota sekalipun, fungsi dan kedudukannya diproteksi oleh undang-undang untuk selalu menjaga sikap toleransi agar terjauh dari benih-benih diskriminatif terhadap golongan, etnik, agama, keyakinan, budaya yang masuk dalam kategori minoritas, tentu demi memperkuat ikatan harmonisasi dan akselerisasi religi.

Pernyataan FPI yang absurd dan cenderung gegabah, setidaknya melahirkan dua ornamen pesan, yaitu :

Pertama, penalaran dan pengetahuan ormas FPI atas momentum Natal terhadap ucapan pejabat negara tentu akan memicu kegelisahan di sebagian umat dan meninggalkan jejak kegamangan publik. Ini sangat merugikan dalam konteks relasi sosial dimana Negara sudah mengikatkan dirinya dalam konsensus politik nasionalisme–religius dan bingkai pluralisme yang menjungjung tinggi etika otonom dalam spirit Bhineka Tunggal Ika.

Kedua, polemik semacam ini adalah penyakit akut yang diderita oleh sebagian dari kita, yang oleh Jalaludin Rahmat disebut dengan istilah Argumentum ad verecundiam dan Circular reasoning.

üArgumentum ad verecundiam adalahseseorang atau kelompok yang memiliki argumen menggunakan otoritasnya, meskipun tidak relevan dan ambigu. Ia melakukan penafsiran terhadap sebuah peristiwa yang memaksa pihak lain untuk membenarkan penafsiran yang mereka lakukan. Padahal peristiwa itu bisa dilihat secara berbeda oleh pihak yang berbeda. Dalam konteks ini, misalnya FPI menggunakan otoritas nya dengan menambahkan frasa “menurut pendapat saya/kami”.

üKemudian Circular reasoning yaitu perdebatan semacam ini melahirkan pemikiran yang berputar-putar, yang acapkali menggunakan kesimpulan untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju kesimpulan semula, dan begitulah polemik ucapan selamat Natal dari tahun ke tahun....

Terlepas dari polemik itu, perlu untuk digaris bawahi, bahwa saya tidak sedang memuja pejabat negara dan disaat yang sama sedang menegasikan eksistensi FPI. Sebab, dalam bacaan saya, FPI adalah bagian dari civil society, yang menurut pemikir Filsafat Frans Magnis Suseno dimaknai sebagai wilayah-wilayah kehidupan yang terorganisir yang didasari jiwa sukarela, swasembada (self generating), swadaya (self supporting), dengan kemandirian tinggi, menunjunjung tinggi norma-norma/nilai-nilai hukum yang dipatuhi rakyat.

Sekalipun begitu, saya merasa kurang ‘happy’ ketika ada istilah ‘murtad’ ditembakan ‘peluru’nya kepada sesama anak bangsa, terlebih sesama muslim dan pemimpin kita pula.......

Ahhh, Gitu Aja Koq Ribut,..

Wallohu’alam...Mohon saya dimaafkan...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline