Lihat ke Halaman Asli

Anna Soetomo

Sekolah di Jogja

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia; Pacaran Segan Putus Tak Mau

Diperbarui: 14 Juli 2023   06:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika Mahkamah Konstitusi dilahirkan, sebagai anak demokrasi, banyak pihak menilai kelahirannya sebagai harapan baru. Ini anak udah cakep dari lahir. Membayangkan ada makhluk yang punya kekuasaan kehakiman, merdeka dari intervensi apapun, berwenang menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan. Dari urusan paling privat seperti soal keyakinan, urusan gemes-gemes sengketa pemilu, sampai dugaan pelanggaran presiden. In short, ini anak cakepnya kaya apotik bangkrut: ngga ada obat.

Tidak pernah sebelumnya kita melihat bagaimana bergairahnya penonton melihat proses persidangan ketika sidang sengketa pemilu 2019 digelar berjilid-jilid. Antusiasme publik begitu tinggi ingin mendengar apa yang disampaikan para pihak bertikai dan komentar para hakim, sambil ikut-ikutan berkomentar di luar gedung Mahkamah Konstitusi, sampai lupa membalik tempe yang sedang digoreng. Publik merasa memiliki lembaga ini dan proses yang berjalan didalamnya. Merasa berhak untuk berkomentar dan urun rembuk tentang apa yang mereka rasa sebagai adil. Tidak penting pernah sekolah hukum atau tidak, pokoknya punya persepsi tentang adil. Misalnya mbak-mbak di Sleman yang bukan pendukung kubu manapun, sambil nonton sidang dan mengunyah Qitela ia tepuk pundak pacarnya: "Yang, masa iya bisa konstitusional tanpa adil?" Pacarnya manggut-manggut ngga ngerti.

Tahun 2009, Gus Dur dan teman-temannya pernah datang ke Mahkamah Konstitusi mengajukan peninjauan terhadap PNPS 65. Alasannya sederhana saja. Itu barang menjadi basis legal rangkaian diskriminasi terhadap kelompok non-arus utama. Korban dihadirkan memberikan kesaksian, yang salah satunya berasal dari perwakilan Penghayat Kepercayaan, yang terdampak secara moril dan materil mulai dari pengucilan, kesulitan pencatatan perkawinan, pengurusan akte kelahiran, layanan pendidikan agama di sekolah, problem pekerjaan, sampai urusan layanan pemakaman. Penghayat Kepercayaan juga sulit mendapat kesempatan untuk bisa mengabdi pada negara sebagai PNS karena kolom agama di KTP-nya tertulis strip, yang kemudian diidentikkan dengan tidak punya agama.

Gus Dur dan teman-teman bukan hanya membawa kertas dan saksi mengetuk pintu Mahkamah Konstitusi, mereka juga mengetuk nurani para hakim, dimana hakim perlu menyandarkan putusannya. Kemudian para hakim yang luar biasa memeriksa dengan seksama apa yang menjadi concern penggugat. Dalam kepala putusan yang standar: demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Pak Mahfud MD dan teman-temannya menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Hanya Bu Maria Farida yang memberikan opini berbeda. Kami semua padamu, Bu Maria.

Bertahun berikutnya, PNPS 65 terus dihadirkan di meja sidang Mahkamah Konstitusi. Pihak penggugat berganti-ganti, komposisi hakim yang memeriksa juga berganti. Tapi untuk yang satu ini, Mahkamah Konstitusi agak konsisten pada pendiriannya. Mau kelompok manapun yang datang, jawaban tetap sama: "Maaf sayang aku ngga bisa. Aku merasa ini seferti.. (pakai f) apa ya.. konsensus nasional begitu". Putusan yang demikian menyedihkan bagi sebagian orang, tapi juga membahagiakan bagi sebagian yang lain. Betapa subyektif sesungguhnya keadilan, dan betapa berat beban di pundak Mahkamah Konstitusi.

Tahun berganti, ceritanya agak lain di 2016. Sejumlah perwakilan Penghayat Kepercayaan kembali mendatangi Mahkamah Konstitusi. Mereka paham betapa Mahkamah Konstitusi masih sayang pada PNPS 65. Akhirnya Penghayat mencoba lagi, kali melalui UU Administrasi Kependudukan. Problemnya sederhana, kira-kira demikian: strip di kolom agama di KTP bikin penghayat susah cari mertua. Kali ini keadilan sedang berpihak pada Penghayat Kepercayaan. Pak Arif dan teman-temannya menerima gugatan yang dilayangkan Penghayat Kepercayaan. Dampaknya tentu besar, bukan saja pada pengakuan eksistensi yang dinyatakan secara legal dalam Kartu Tanda Penduduk, tapi juga tersedianya layanan lain seperti pendidikan untuk siswa penghayat, serta pelibatan penghayat dalam forum-forum lintas iman. Meskipun untuk urusan cari mertua tetap kembali pada rejeki masing-masing.

Sesungguhnya ikhtiar Gus Dur, teman-teman Penghayat, Pak Mahfud, Bu Maria, dan Pak Arif, hanya contoh kecil bagaimana gedung sederhana di bilangan Jakarta Pusat punya signifikansi dalam membentuk sejarah peradaban baru kehidupan beragama yang beragam dan inklusif di Indonesia. Pun demikian, keputusan tersebut tidak serta merta membahagiakan semua pihak. Ketidakpuasan dan kekecewaan juga muncul dari sejumlah kalangan. Pak Makruf Amin sebagai ketua MUI pada saat itu misalnya, menilai putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengindahkan kesepakatan politik yang telah ada. Dalam pro kontra yang terus menerus atas ragam perkara dan warna putusan, terkadang publik menanggap Mahkamah Konstitusi sebagai entitas yang tidak jelas.

Ketidakjelasan sikap Mahkamah Konstitusi membuat siapa saja yang berhubungan dengan Mahkamah Konstitusi seperti pacaran segan putus tak mau. Mahkamah Konstitusi seolah mau bilang: "Tenangno atimu.. masa putus karena putusan? Kan bisa diobrolin lagi lain waktu, bisa ngajuin gugatan lagi, coba cari argumen lain ya sayang". Gugatan kita boleh ditolak pada satu waktu, tapi bisa diupayakan di lain waktu. Akhirnya si pacar pasrah, karena kadung sayang. "Dahlah, ngga selingkuh sama uang dan kekuasaan aja udah bagus." Setelah hatinya tetang dan usai menangis, si pacar kembali mengetik gugatan baru dan menyusun evidence. Besok kalau tidak hujan mau datang lagi ke Mahkamah Konstitusi.

Sebagaimana layaknya pasangan muda berpacaran. Muda ya, kan baru umur dua puluh. Hubungan antara para pencari keadilan dengan Mahkamah Konstitusi tidak selalu mulus. Kadang ada kekecewaan, pertengkaran, dan gemes pingin ganti yang baru. Tapi Mahkamah Konstitusi memang tidak dirancang untuk menyenangkan semua orang. Mahkamah Konstitusi, sebagaimana kelahirannya, dirancang sebagai ruang dinamika kontetasi-klaim. Di bawah atapnya, bahkan hakim adalah juga pencari kebenaran. Memutus perkara perlu dilihat sebagai jeda makan siang dari pembicaraan yang sudah seharusnya tidak pernah tuntas dalam negara yang bertumbuh. Tapi sebaik-baiknya putusan, harapan kita semua, tentu saja, yang sedekat-dekatnya dengan konstitusi, dan sedekat-dekatnya dengan hati nurani. Jangan jauh-jauh. Kalo bisa kaya lagu dangdut: "Lima langkah dari rumah.."

Sugeng ambal warso, Mahkamah Konstitusi. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline