Apakah kita memahami bahwa setiap sampah yang kita buang hanya berpindah tempat dan tidak hilang begitu saja? Apakah kita akan tetap sembarangan 'memproduksi' sampah tanpa berpikir panjang ke depannya?
Atau... pernahkah kamu melihat bagaimana "perjalanan" sampah dari tempat sampah rumah penduduk hingga diangkut ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST)? Setiap menit, detik, jam, sampah terus diangkut dari satu tempat ke tempat lain. Jika masalah ini dibiarkan tanpa solusi sistematis, kita akan menghadapi masalah serius. Volume sampah yang terus meningkat tidak sebanding dengan pengelolaannya.
Baca juga: Kita Perlu Naik Level, dari Buang Sampah Jadi Kelola Sampah
Mari kita ambil contoh nyata kasus yang selalu jadi perhatian dan butuh solusi kompleks: TPST Bantargebang.
Bayangkan saja, sudah 35 tahun sejak pertama kali beroperasi pada tahun 1989, TPST seluas 110 hektare ini masih menerima volume sampah hingga 8.000 ton setiap harinya. Dilansir KompasTV, per 2023 lalu, timbulan sampah itu terdiri dari 3.761 ton sampah organik dan 3.749 ton sampah anorganik dengan kondisi yang sudah tercampur
Pada satu kesempatan, Kompasianer Adinda Sakinah pernah menyusuri sampah yang diangkut dari rumahnya sampai ke TPST Bantargebang. Sejak pukul 7 pagi, petugas sampah sudah mulai mengambil sampah dari satu rumah ke rumah lainnya dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam gerobak sampah.
Setelah itu, sampah tersebut dibawa ke titik pengumpulan sementara-- tempat truk sampah sudah menunggu. Nah, ketika semua sudah terkumpul, sekitar pukul 7 malam, sampah dibawa ke TPST Bantargebang. Timbulan sampah yang dihasilkan baru berasal dari satu perumahan.
"Sekali mengangkut, truk-truk sampah itu akan membawa sekitar 12 ton sampah ke Bantargebang," tulis Kompasianer Adinda Sakinah.
Lalu, bagaimana dengan nasib warga yang tinggal di dekat area TPST Bantargebang?
Memang, warga mendapatkan "uang bau" atau uang kompensasi kepada 24.000 keluarga senilai Rp 350.000 per bulan di tiga kelurahan, yaitu Sumurbatu, Cikiwul dan Ciketing Udik; sekitar Rp 175.000 per bulan di satu kelurahan Bantarbang. Per 2024, uang kompensasi naik menjadi Rp400.000 per bulan dan dibayarkan setiap tiga bulan sekali, dengan akumulasi total Rp1,2 juta.
Masalahnya, uang kompensasi yang diberikan suka macet dan kurang memadai. Belum lagi, uang kompensasi bukanlah inisiatif yang menyentuh akar masalah. Volume sampah tetap tak terbendung. TPST Bantargebang memiliki batas maksimal.