Ketika Kompasiana bertatap muka secara daring dengan Christopher Reinhart, ia sedang duduk di sebuah ruangan di kampus almamaternya. Tepatnya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Memang, kini Christopher Reinhart sedang bertugas menemani superiornya, yakni Profesor Peter Carey yang tengah menjalani residensi sebagai dosen tamu di Program Studi Ilmu Sejarah FIB UI.
Kami bertanya kepada Rei --demikian ia biasa disapa--- mengenai apa tepatnya istilah yang pas bagi profesi yang kini tengah dijalaninya. "Bolehkah kami sebut sebagai Sejarawan, Mas?" tanya kami.
"Sejarawan itu kan gelar yang diberikan oleh masyarakat. Jika Mas dan Mbak ingin menulis begitu, silakan. Tetapi kalau saya pribadi, biasanya saya selalu menyebut (profesi saya sebagai) Peneliti Sejarah."
Lahir pada bulan Agustus tahun 1998, Rei adalah seorang peneliti sejarah Era Kolonial Indonesia dan Asia Tenggara lulusan Ilmu Sejarah FIB Universitas Indonesia.
Ya Kompasianer, Anda tidak salah membaca. Rei belum genap berusia 25 tahun, tetapi kiprah dan karyanya sudah bertebaran. Tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara. Tulisannya telah dipublikasikan di banyak platform digital, media, dibukukan, dan bahkan menjadi rujukan studi. Salah satunya berjudul "Mempertahankan Imperium: Gubernur Jenderal Tjarda Van Starkenborgh-Stachouwer dan Akhir Hindia Belanda" yang diterbitkan Marjin Kiri (2021).
Kecintaan Rei terhadap dunia sejarah bermula ketika kecil. Saat ia mendengarkan cerita rakyat Jawa dari pengasuh dari orang-orang terdekatnya.
"Saya merasa mitos-mitos itu sophisticated. Kisah tentang candi, Tutur Tinular, dan lain-lain. Itu menjadi pintu awal saya menyukai budaya Jawa."
Berbekal menyukai kisah-kisah Jawa, ia pun sempat bimbang memilih jurusan kuliah: antara Susastra dan Ilmu Sejarah. Hal yang ia tahu pasti: ia tidak ingin mempelajari sesuatu yang ada hubungannya dengan Matematika.
"Tapi ternyata di Sejarah ada matematika juga sedikit. Hahahaha," ungkapnya sembari tertawa.
Awalnya, orangtua Rei tidak setuju bila anaknya belajar Ilmu Sejarah dan khawatir bakal kesulitan mencari pekerjaan setelah lulus. Tapi, setelah lulus Summa Cumlaude dengan IPK 3,95, orangtua Rei kini malah terheran-heran melihat anaknya memiliki profesi yang jelas-jelas cukup untuk membiayai hidup.