Dalam catatan Orang Jawa Naik Haji yang dibukukan itu, Danarto mengupas segala keseharian peribadatan haji pada tahun 1983 kala itu.
Dari tiap bagian buku Orang Jawa Naik Haji, yang akan membekas adalah tentang bagaimana perjalanan menuju rumah Tuhan menjadi perjalanan jiwa yang sunyi dan senyap. Dalam ibadah itu, lagi-lagi, Danarto seakan menutup mulut, mata dan telinga. Pergi Haji, baginya, seperti peribadatan yang lurus dengan jiwa yang tulus.
Selain ke-khusu'-an dari ibadah, melaksanakan haji, khusus di Indonesia, cukup menarik. Sebagai contoh, gelar yang tersemat bagi yang sudah pulang: Haji --pada bagian depan namanya.
Ade Iftahaq menulis itu dalam Perkembangan Gelar "Haji" di Indonesia. Menurutnya, tujuan utama ketika itu adalah mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap para haji.
"Pemerintah kolonial tak mau repot-repot mengawasi satu per satu haji di daerah-daerah," tulisnya.
Namun, secara politis, jika ada pemberontakan berdasarkan agama meletus dari rakyat, pemerintah kolonial tinggal mencomot haji-haji di daerah tersebut untuk meredamkannya.
Tidak hanya sampai di situ! Lantas bagaimana dengan keluarga yang ditinggalakan di Indonesia?
Rudiyanto lewat tulisannya Aktivitas Keluarga Haji "Zaman Now" setidaknya mencatat 3 (tiga) poin tersebut. Satu di antaranya: anggota keluarga harus senantiasa mendoakan orang yang sedang berhaji.
Tujuan itu, tentu saja, untuk mendoakan keluarga atau kerabat kita yang tengah menjalani ibadah haji semoga dilancarkan peribadatannya. Dan tidak lupa, akan ada pengajian rutin di rumah yang anggota keluarganya pergi haji.
***
Pergi Haji itu bukan semata berkunjung ke Arab Saudi, Makkah dan Madinah. Pergi Haji, perjalanan spiritual para nabi yang sejauh ini terangkum dalam praktik manasiknya.