Lihat ke Halaman Asli

Kompasiana News

TERVERIFIKASI

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Melihat Bagaimana Sebuah Puisi Lahir

Diperbarui: 12 April 2018   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi. (@kulturtava)

"Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya tak terlalu suka puisi. Kau tahu, penyair lebih rumit dari sopir bajaj. Di jalanan, kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya sopir bajaj dan Tuhan. Tapi kalau penyair menulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu, apa yang ditulisnya itu."

Itu merupakan potongan baik dari puisi 'Lelucon Menjelang Kematian' yang Agus Noor buat Gus Dur. Puisi memang rumit. Barangkali, dari dua anak kandung sastra, puisi merupakan anak yang susah dipahami. Kita bisa menilai, meresapi, atau sampai menghujat, misalnya, sebuah puisi. Sah saja. Namun, dalam sebuah kritik sastra, puisi adalah objek yang pasrah. Seperti maling yang diintrogasi polisi.

Sebagaimana sastra, puisi bisa menjadi begitu ideologis pada suatu tempat dan waktu, namun juga bisa tidak menjadi apa-apa pada waktu yang lain. Sebab tafsir dan pemaknaan dari sebuah puisi adalah kerja subjektif dari penyair. Sedangkan objeknya, mengutip Teeuw, tidak menentu dan tidak karuan.

Untuk mempertemukan kedua hal tersebut, satu-satunya jalan yang baik-nan-bijak adalah dengan melakukan kritik sastra. Tidak gampang memang, lha wong mendefinisikan sastra saja luas. Meski banyak pendekatan teori atau lainnya, kritik sastra seperti satu rangkain kronologis sejarah.

Dan untuk itulah HB. Jassin melakukan pembabakan sastra: mendokumentasikannya sekaligus memilah. Sederhananya, HB. Jassin mengelompokkan berdasarkan bagaimana iklim politik terjadi di Indonesia; Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan '45, Angkatan '66.

Ini bisa saja menjadi penting, karena erat kaitannya dengan melihat bagaimana puisi itu lahir. Ada beberapa kritikus sastra berpendapat, puisi itu penghayatan puitik seseorang di mana setiap orang memiliki perjalanannya masing-masing.

Tidak ada "yang benar" dan "yang salah" dari puisi. Menilai puisi, cara yang paling sederana adalah melihat baik dan buruknya seseorang menghayati --termasuk dalam berbahasa-- ketika menuliskan puisi. Ada yang tersurat dan tersirat. Ada yang mengagungkan metafor, ada yang tidak. Dan, puisi menjadi menarik --atau, bisa saja dianggap berhasil-- ketika pembacanya merasakan pengalaman yang berbeda setjap kali sudah dua atau tiga atau lebih membaca ulang sebuah puisi.

Dalam sebuah forum sederhana dan singkat saat "Focus On: Joko Pinurbo" di Kompasianival 2018 ia mengatakan, "saya saja sampai kagum sendiri ketika membaca puisi saya sendiri. Dalam hati, kok bisa ya saya membuat begini". Alasannya, lanjut Joko Pinurbo, karena ketika membaca ulang puisinya sendiri ia memosisikan dirinya sebagai pembaca, bukan lagi sebagai orang yang menuliskan puisi.

Puisi, sekali lagi, merupakan bagian dari sastra. Dan mengutip apa yang ditulis Sapardi Djoko Damono dalam pengantar buku kumpulan puisi 'Melihat Api Bekerja' yang dianggit Aan Mansyur, "Sastra baru bisa disebut 'sastra' kalau sudah disusun dalam aksara, 'sastra' adalah aksara. Ketika masih berujud bunyi tentunya yang sekarang kita sebut sastra tidak disebut 'sastra' sebab bunyi bukan aksara."

Yang dimaksudkan Sapardi tentu saja perihal bagaimana kita mendapatkan puisi tersebut. Bunyi adalah urusan telinga; aksara adalah mata, lanjutnya. Namun itu tidak menutup kemungkinan: bahwa aksara akan berbentuk bunyi. Sebab pembaca puisi cenderung melisankan kembali apa yang dibacanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline