Didereknya mobil aktivis Ratna Sarumpaet dengan alasan melanggar peraturan daerah (Perda) dan puisi Sukmawati Soekarnoputri yang dinilai menyinggung keagamaan, jadi topik paling banyak diperbincangkan sejak beberapa hari terakhir hingga hari ini, Kamis (05/4/2018). Beragam opini dari Kompasianer pun bermunculan.
Untuk peristiwa Ratna, Kompasianer Tjiptadinata Effendi membandingkan persoalan serupa dengan dua zaman berbeda. Menurutnya, di zaman orde baru, pelanggar aturan bisa lolos dari hukuman hanya dengan menunjukkan nota sakti. Nota yang memang dikenal ajaib di zaman itu.
Bahkan, tulis Effendi, nota sakti itu melebihi keris sakit. Sedangkan di zaman seperti ini cukup dengan sebuah gawai. Semuanya beres.
Ada juga Kompasianer Susy Haryawan yang punya opini serupa. Pandangannya, peristiwa itu mengingatkan Susy akan kejadian yang pernah dialami Dewi Persik, dan berujung kepada penunjukkan Dewi sebagai Duta Keselamatan Berlalu Lintas. Atas itu, Susy mempertanyakan kelanjutannya, "Apakah Ratna Sarumpaet juga akan seperti Dewi Persik?"
Sedangkan opini berbeda disampaikan Kompasianer Ajinatha. Ia mengingatkan kalau tindakan Ratna Sarumpaet sebenarnya tidak mencerminkan apa yang selama ini ia galakkan, yakni Good Government.
"Seharusnya RS memberikan teladan kepada masyarakat agar patuh pada aturan Pemerintah, mengharapkan tegaknya aturan haruslah Juga memberikan contoh bagaimana seharusnya mematuhi aturan, bukan malah membuat Pemerintah tidak patuh pada aturan yang dibuat," tulis Ajinatha.
Beralih ke puisi Sukmawati Soekarnoputri. Kompasianer Syahirul Alim menyayangkan, Sukmawati seharusnya menjadikan Fashion Week 2018 --tempat di mana Sukmawati membacakan puisi-- sebagai ajang kebudayaan Indonesia dan mengedepankan memberikan nuansa estetika. Sekaligus etika dalam balutan ragam "busana", tanpa membandingkan atau membedakan apalagi merendahkan budaya lainnya.
"Pun ketika dibacakan puisi di dalamnya, maka keterpaduan nalar-khayal menjadi perlu, agar puisi tak sekadar khayalan terlebih bualan. Karena takhayul dalam puisi hanya merekonstruksi dunia mitos, kepercayaan, atau misteri, tanpa pijakan pada kekuatan daya nalar yang pasti," tulisnya.
Pandangan berbeda dituangkan Kompasianer Lardianto Budhi. Ia menilai karya Sukmawati sebetulnya tidak ada masalah selama, "tidak dilandasi dengan kebencian dan pembenaran terhadap diri sendiri," tulisnya.
Namun di sisi lain Lardianto juga menilai kesalahan puisi Sukmawati terletak pada momentum. Menurutnya, puisi yang dibacakan Sukmawati tidak pas dengan kondisi negara saat ini.
"Hanya saja saya berpendapat bahwa Sukmawati tidak tepat melihat momentum. Muatan inti nilai puisi Sukmawati berada pada koordinat ruang yang akhirnya mengusik heterogenitas masyarakat dengan seolah-olah menghadapkan agama dengan budaya," lanjutnya.