Empat anggota kelompok Muslim Cyber Army ditangkap polisi karena menyebar isu provokatif di media sosial. Para pelaku yang tergabung dalam grup di aplikasi tukar pesan Whatsapp "The Family MCA" ditangkap serentak di empat provinsi berbeda pada Senin (26/2/2018).
Muslim Cyber Army memang cukup dikenal oleh warganet di Indonesia. Kelompok ini aktif di media sosial khususnya di Facebook dan memiliki basis anggota grup cukup besar.
Adapun konten-konten yang disebarkan pelaku merupakan isu yang sering menimbulkan keresahan di masyarakat, seperti isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia, penculikan ulama, dan mencemarkan nama baik presiden, pemerintah, hingga tokoh-tokoh tertentu.
Penangkapan akun penyebar hoaks oleh polisi sebenarnya bukan sekali ini terjadi. Bahkan pemerintah dan masyarakat telah mengampanyekan gerakan anti hoaks, termasuk sosialisasi aturan dan konsekuensi hukumnya. Namun tetap saja masih ada warganet yang nekat melanggar.
Kompasiana Hasto Suprayogo dalam artikelnya mencoba untuk memahami alasan warganet yang gemar menyebar hoaks. Menurutnya perilaku tersebut muncul karena emosi. Berawal dari niat baik ingin memperjuangkan idealisme agama, tapi mereka disilapkan oleh emosi. Akibatnya, logika dan etika luntur, hingga akhirnya semua cara dilakukan untuk menang.
Ia juga menambahkan, emosi adalah nyala api semangat yang membakar. Jika tak dikelola dengan baik. Apalagi jika emosi itu ditunggangi kepentingan politik. Dikipasi para aktor dan dalang, mereka yang tak sadar, sebenarnya tengah dijadikan pion-pion dalam laga perang para atasan. Mereka adalah tameng, yang setiap saat bisa dikorbankan.
Terlebih lagi alasan agama digunakan untuk menyebarkan hoaks adalah sebuah kesalahan. Menurut Hasto, Islam mengajarkan penganutnya untuk berpikir dan dan bersikap logis. Memperjuangkan Islam namun mengingkari logika, berbohong, menyebar hoaks, merupakan perilaku yang tidak Islami. Cara yang salah tidak akan membenarkan tujuan yang benar.
Penggunaan kata "Muslim" sebagai nama kelompok hoaks juga sangat disayangkan. Menurut Kompasianer Samuel Henry, tindakan mereka lebih cocok dikatakan sebagai penyebar isu provokatif alias teroris dunia maya yang selalu berkeinginan menyebar berita fitnah dan isu kebencian.
Untuk menghindari aksi serupa terulang kembali, ia berpendapat perlu ada edukasi agama yang benar dan jauh dari paham radikalisme. Perlu kerja sama serta peran ulama dan berbagai organisasi keagamaan untuk hal ini.
Walaupun di awal kelompok ini membawa nama sebuah agama, tapi selanjutnya berbagai aktivitas yang jauh dari maksud tujuan awalnya akan timbul secara otomatis. Ibarat bola salju yang bergulir tanpa arah yang jelas, pemahaman yang salah bisa membuat anggota kelompok ini semakin sesat.
Untuk menghindari kerugian-kerugian akibat hoaks, berikut 4 langkah yang bisa dilakukan untuk mendeteksinya: