Digitalisasi adalah hal pasti. Kita semua tahu itu dan tidak ada yang bisa menyangkal atau menghindar karena memang hampir tidak mungkin untuk dihindari.
Sebagaimana kita ketahui bersama datangnya digitalisasi senantiasa mengubah kebisaan kita dalam berperilaku, termasuk kebiasaan manusia dalam membaca. Kini kita dimudahkan dengan gawai yang bisa dibawa ke manapun. Dengan gawai kita bisa membaca berita online, streaming film, dan berinteraksi melalui media sosial.
Artinya kita tidak perlu lagi repot-repot membeli koran, kemudian membacanya hingga mungkin mengganggu orang sekitar karena membukanya lebar-lebar, atau kita tidak perlu lagi harus sampai rumah terburu-buru agar tidak ketinggalan menonton sinetron favorit. Kebiasaan lama itu kini bisa diatasi cukup dalam genggaman tangan kita.
Kebiasaan itu turut mempengaruhi dalam membaca buku. Buku digital atau e-book, menawarkan kita kemudahan dengan "membawa" puluhan jenis buku hanya dengan telapak tangan.
Tidak ada lagi keluhan tangan cedera atau nyeri pinggang hanya karena kita membopong buku terlalu banyak, atau drama tertabrak orang lain saat berjalan karena begitu banyaknya buku yang dibawa menghalangi pandangan kita.
Berdasarkan kenyataan tersebut, YOI Books di bawah naungan PT Elex Media Komputindo menyelenggarakan Book Talks (Boocircle Takes Over: No Book is Dying) yang diisi dengan diskusi tentang eksistensi buku di masa depan pada Sabtu kemarin (10/02) di Jakarta Creative Hub, Jakarta Pusat.
Diskusi ini dihadiri oleh narasumber yang mengenal dekat dunia penerbitan antara lain Whindy Yoevestian, editor buku dari Elex Media dan Dodi Prananda, penulis sastra serta jurnalis di televisi swasta nasional.
Potensi buku dan minat membaca orang Indonesia
Fenomena digitalisasi seolah memberikan tantangan bagi generasi muda sekarang, khususnya milenial untuk peduli dan memberi dukungan kepada dunia buku dan penerbitan. Whindy dengan optimistis menuturkan bahwa potensi buku khususnya di Indonesia masih sangat baik. Untuk diketahui, toko buku Gramedia setiap tahunnya bisa mendistribusikan 15.000 judul buku baru.
"Gramedia sendiri sudah punya 118 toko yang tersebar di seluruh Indonesia dan masih ada keinginan untuk menambah lagi, bahkan bangunan sendiri, bukan di mal. Kondisi ini justru terbalik dengan Eropa dan Amerika, mereka banyak menutup toko bukunya tutup karena pindah ke digital," ujar Whindy saat menyampaikan materi.
Informasi ini ia dapatkan dari pengalamannya berbincang dengan penerbit lain di Frankfurt Book Fair tahun 2015 lalu. Ia mengungkapkan, meski ada yang bertanya secara persentase antara jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah buku yang dicetak masih sedikit, yaitu 250 juta jiwa dengan 2000 eksemplar yang terbit. Namun sebagai perwakilan dari Indonesia, ia merasa bangga karena nasib dunia penerbitan buku di Indonesia belum menemukan titik gelap.