Lihat ke Halaman Asli

Kompasiana News

TERVERIFIKASI

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Ada 11 Cerita Fiksi yang Akan Menemani Malam Minggumu!

Diperbarui: 28 Oktober 2017   03:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (http://ew.com)

Ini merupakan 11 cerita fiksi pilihan yang barangkali bisa membantu malam minggumu tidak terlalu sedih betul. 11 cerita ini dihimpun, diseleksi dan diharapkan malam minggu bisa lewat begitu sahaja tanpa terasa. Bila kalian sudah selesai membacanya, paling tidak, hari sudah mulai gelap, awan akan bergerak cepat menjadi hitam yang pekat dan berdoalah semoga hujan turun deras hingga kalian bisa tertidur lelap.

Ini merupakan 11 cerita fiksi yang bisa kalian anggap teman, pasangan atawa sesuatu yang menyenangkan --kalau perlu. Tenang, tak perlu risau bila malam minggu datang, kelak kalian bisa ingat 11 cerita ini sebagai penyelamat. Untuk yang tidak punya pasangan, memang ada yang lebih menyakitkan dari malam minggu yang berjalan begitu lambat?

Ini merupakan 11 cerita fiksi yang bisa membelamu bila-bila satu waktu ada yang mengejekmu diam saja tanpa melakukan sesuatu saat malam minggu. Mengingat apa yang Goenawan Mohamad pernah tulis: politik identitas dimulai dari hasrat untuk diakui.* Yha, identitasmu mulai dipertanyakan. Kegiatanmu mulai diragukan. Dan yang paling menyebalkan: pasanganmu ternyata masih dalam angan-angan.

Ini hanyalah 11 cerita fiksi. Jadi tenang sahaja. Kalau kalian sudah tidak sabar ingin membacanya, bersabarlah barang sebentar, lalu jawab satu pertanyaan ini: sudahkah kalian mensykuri kesepian (selama) ini?

***

Amakusa Shiro membuka cerpen "Harga Manusia" dengan fragmen yang menyenangkan: hari di mana seseorang mendapat gaji bulanannya. Lewat cerpennya, Amakusa Shiro coba menceritakan bagaimana sosio-kultur  pekerja di Jepang. Tentang bagaimana masyarakat Jepang menyikapi ragam tawaran pekerjaan dari kemampuan dan pendapatan. Tidak hanya di Jepang, memang. Di mana-mana juga begitu, kan? Namun, Amakusa Shiro mencoba  menegaskan, nyatanya ada yang lebih penting dari sekadar pendapatan: 

Gaji  bukanlah merupakan sesuatu yang menjadi prioritas dia dalam  hal  memilih pekerjaan. Kecocokan dengan suasana dan lingkungan kerja baginya merupakan hal yang terpenting. 

Adalagi. Coba lanjutkan membaca cerpen "Pos Militer Surakarta" yang ditulis Berty Sinaulan.  Tidak ada kaitan apa-apa dengan cerpen Amakusa Shiro, memang, tapi  lihat bagaimana konflik dari cerpen "Pos Militer Surakarta" lahir: sebuah prangko langka yang harganya sampai miliaran. Yha, bagi seoarang  filatelis, harga bukan masalah. Yang selalu jadi masalah malahan bagaimana bisa mendapatkannya; sejarah apa yang lahir dari prangko itu  dll, dst, dsb. Walau sama-sama kita tahu: itu cuma khayalan tokoh-tokoh yang Berty Sinaulan belaka.

Seperti juga puisi --lagi-lagi puisi bisa hadir kapan dan di mana sahaja-- yang Widha Karina buat: Duka Teman Lama.
Perhatikan dua bait puisi berikut:

Setelah Duka pulang, ibuku memunguti ceceran sepi.
"Mau-maunya dibikin tekor!" omelnya sesekali, sambil bungkuk lalu berdiri. Terus begitu ia ulangi.

Karena ibu hanya melihat benefit dari sebuah situasi, maka kujawab saja, "Aku jadi rajin berdoa dan menulis puisi."

Adegan dalam puisi itu mungkin kita bisa tahu kalau si "Aku" baru saja berpergian entah ke mana bersama Duka. Namun, reaksi si "Ibu" dalam puisi "Mau-maunya dibikin tekor!". Belum selesai di situ, si "Aku" dalam puisi lalu berkesimpulan: Karena ibu hanya melihat benefit dari sebuah situasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline