Dalam beberapa hari terakhir, jagat media sosial diramaikan dengan pernyataan Elly Risman, seorang psikolog. Dia mempermasalahkan dan melabeli kedatangan girlbandKorea SNSD ke Indonesia yang katanya merupakan simbol seks dan pelacuran.
Selain mengenai hal ini, terdapat pula artikel mengenai media online sekarang yang kebanyakan lebih mengejartraffic, sampai langkah-langkah untuk menghadapi hoaks dalam informasi kesehatan. Berikut 5 headlinepilihan Kompasiana hari ini.
1. 6 Hal yang Bisa Dipelajari Ketika Elly Risman Mengusik Kpop Lovers
Beberapa hari terakhir sosial media dihebohkan dengan pernyataan seorang psikolog yang bernama Elly Risman dalam cuitannya di twitter. Kehebohan ini timbul karena Elly Risman mempermasalahkan kedatangan girlbandKorea yang bernama SNSD yang 'katanya' diundang untuk perayaan kemerdekaan.
Elly kemudian tidak setuju akan hal tersebut karena menurutnya girlbanditu merupakan simbol seks dan pelacuran. Ia mempertanyakan letak kreativitas pemerintah atas diundangnya girlbandtersebut. Tab Mentions Elly langsung dipenuhi dengan protes, marah, dan bully, terutama oleh Kpop-ers.
Melalui kasus ini, banyak hal yang bisa kita ambil hikmahnya. Contohnya adalah bertabayyun, karena faktanya SNSD diundang dalam rangka Countdown Asian Games 2017, bukan untuk perayaan Hari Proklamasi. Kemudian, sikap apalagi yang harus kita ambil dari kasus ini?
2. Mau jadi Jurnalis atau Hamba Visitor?
Sekarang ini banyak kita jumpai artikel yang memakai bahasa dramatis untuk disuguhkan pada pembaca, contohnya adalah sebuah media onlineyang menayangkan berita "heboh" tentang seorang pria yang kesakitan karena kemaluannya dijepit kepiting.
Tentu saja berita semacam ini akan mengundang klik para pembaca karena rasa penasaran. Penulisnya pun juga menuliskan berita ini dengan begitu yakinnya seolah-olah ia menyaksikan langsung di tempat kejadian.
Namun, uniknya, si wartawan tidak berada di lokasi kejadian. Di mana dan kapan peristiwa itu terjadi juga tidak dicantumkan. Siapa saja yang menolong pria itu juga tidak disebutkan. Padahal semua unsur ini harus ada dalam karya jurnalistik. Apakah semua media online memang menghamba traffic seperti ini?