Lihat ke Halaman Asli

Kompasiana News

TERVERIFIKASI

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Pengultusan dan "Mahalnya" Nona Suku Lamaholot

Diperbarui: 25 April 2017   03:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di setiap kebudayaan manusia, yang pertama kali akan kita temukan adalah sebuah sistem dari larangan-larangan yang dirancang sehingga memisahkan dua jenis kelamin hingga berbagai jenis hubungan antar manusia. Larangan-larangan itu menghasilkan beberapa point penting semisal menjauhkan hubungan sedarah dan perzinahan.

Perzinahan bisa semakin jauh jika sepasang kekasih telah melangsungkan pernikahan, sebuah aksi kultural yang menurut antropolog asal Poladia, Bronislaw Malinowski sebagai persetujuan peresmian hubungan baru di antara dua individu dan hubungan tersebut tidak diturunkan dari insting melainkan dari tekanan sosiologis. Menurutnya, hubungan tanpa ikatan matrimoni menghawatirkan mengingat tidak ada perjanjian-perjanjian yang mengikat dengan norma budaya.

Tapi setelah pernikahan resmi terjadi, beberapa macam tugas, ikatan dan hubungan timbal balik harus dilakukan yang didukung oleh perjanjian legal, religius, dan moral. Sehingga Bronislaw memandang hubungan antar manusia didorong oleh elemen budaya, diakhiri dengan perjanjian sosial, dan dipertahankan oleh sistem tekanan sosial.

Di Indonesia, Aksi kultural itu beraneka ragam jenisnya. Semua ini terjadi akibat akulturasi budaya serta topografi negara ini yang terdiri dari pulau-pulau membuat perbedaan kebiasaan antar warga. Raden Adjeng Kartini menjadi model terbaik mengenai kultur pernikahan di Jawa.

Sosok wanita yang selalu menjadi inspirasi bagi wanita di Indonesia ini merupakan pendobrak kebiasaan lama saat itu. Kartini yang dilahirkan dalam lingkup keluarga priyayi amat terkungkung dengan kultur Jawa yang menganggap wanita harus tunduk pada laki-laki.

Posisi wanita saat itu seakan berada di bawah laki-laki sehingga kaum hawa kerap disepelekan. Parahnya lagi, "penindasan" ini sering diatas namakan agama sehingga dari surat menyurat Kartini kepada sahabat penanya di Belanda seakan terlihat bahwa ia menentang agama.

Saat itu wanita dipandang hanya sebagai istri tanpa wajib mengenyam pendidikan layaknya kaum adam. Kaum hawa harus tunduk pada semua perkataan laki-laki. Kartini melihat situasi ini sebagai hal yang menghawatirkan karena ia yakin jika pendidikan mampu menghilangkan jarak antara laki-laki dan perempuan serta kesenjangan sosial saat itu.

Nasib Kartini dengan kultur Jawanya hampir mirip dengan wanita di Larantuka. Masyarakat di sana menganggap perempuan memiliki nilai tertinggi dalam strata sosial sehingga banyak seserahan adat yang harus diberikan seandainya laki-laki ingin meminang nona-nona manis di sana seperti memberikan mahar pernikahan berupa gading gajah.

Menurut penurutan warga bernama Iwan, banyak laki-laki di sana mencari perempuan dari wilayah lain untuk menghindari kebiasaan adat tersebut. Ia pun menjadi satu diantara sederet laki-laki yang memilih mempersunting wanita dari daerah lain sehingga mahar yang diberikan hanya uang yang telah disetujui keluarga masing-masing mempelai.

Cerita Iwan hampir mirip dengan Felix, salah satu warga yang kami temui di Larantuka. Ia juga menghindari menikahi wanita asli sana. Menurutnya harga satu gading sepanjang lengan orang dewasa mencapai Rp.50 juta sedangkan gading dengan panjang rentangan tangan orang dewasa bisa menghabiskan dana lebih dari Rp. 100 juta.

"Panjang gading yang diberikan kepada mempelai wanita berbeda-beda sesuai dengan perjanjian adat," katanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline