Widya berjalan seperti ombak, maju dengan hati gempita, tapi mundur lagi beberapa langkah setiap kali kakinya berada di depan gerbang rumah terkesan lama dan berhalaman luas itu. Sudah tiga hari ini dia seperti kehilangan kekuatan untuk melanjutkan langkah, sekadar sampai di depan pintu pemilik rumah, mengetuknya walaupun mungkin tak akan ada yang membukakan lagi.
Sore yang basah sesudah hujan kali ini pun dicobanya lagi. Masih membawa sekuntum mawar berwarna kuning yang selalu dibeli menggantikan mawar kuning yang tiga hari ini tak pernah sampai pada tangan yang dikehendaki Widya.
Sedikit bersijingkat menghindari beberapa genangan air, Widya masih menyimpan harapan untuk bertemu dengannya.
Matanya berbinar ketika didapatinya Mbak Sita asik menyulam di teras depan ruang tamu.
"Selamat sore, kakak cantiik," Widya menyapa dengan lantang dari kejauhan .
"Haiii, Widyaaa," sontak Mbak Sita menghentikan tarian tangannya pada kait sulaman. Setelah berdekatan, keduanya tetap cipika cipiki walaupun di masa pandemi seperti ini. Persahabatan terkadang dapat melupakan batasan-batasan protokoler. Hmmm...
"Mbak, aku tu udah tiga hari ke sini, tapi kok ga pernah ada tanda-tanda kehidupan sih?"
"Maksudmu?"
Aku duduk di sebelahnya sambil meletakkan mawar kuning cantik yang kujadikan satu dengan sebatang coklat, persis saat euforia Hari Valentine . Maksudnya, rumah ini sepiiii..seperti taman makam pahlawan, sahutku becanda.