Empat Januari Dua Ribu Delapan belas - Empat Januari Dua ribu Sembilan Belas
Blog Kompasiana, hari ini aku ingin merayakan satu tahunku bersamamu, dalam satu tulisan yang kuanggap istimewa, setidaknya untukku pribadi.
Dear,Kompasiana
bagiku, mengenalmu seperti mengenal seorang sahabat yang menyediakan satu ruang spesialnya untuk boleh aku kunjungi setiap saat, kapan saja kumau. Seorang sahabat yang tidak pernah menolak kehadiranku dalam segala kisah yang senantiasa mengaliri perjalanan keseharianku. Kisah yang kudapatkan dari setiap yang kurasakan, kulihat, dan kudengarkan dari seluruh penjuru mata anginku, pada setiap kisah imajiku.
Walaupun awalnya sangat sulit untuk memulai setiap kisah imaji lantaran aku hanya seorang teman baru yang mungkin belum dapat bertutur dengan baik, seperti teman-teman yang lain. tapi sisi lain hatiku menyapaku dengan baik, tuliskan saja, selagi ingin kamu tuliskan. Dan aku, akhirnya menetapkan hati untuk berkunjung ke rumahmu.
Masih kuingat, yang pertama kukisahkan padamu sepotong puisi Pada Mulanya : tentang awal hari baru di tahun yang baru dua ribu delapan belas.
Awal tahun selalu saja menjadi bahan permenungan akan kemana setelah hari lama berlalu, walaupun setiap hari adalah hari yang baru,bukan? Tapi Euforia tahun baru tak pernah bisa kita bantah keberadaannya dalam hidup kita. Masih kuingat, saat menuliskannya adalah saat sore berhujan dari bilik kamar kerjaku yang sederhana tapi menjadi ruangan yang paling kusuka. Mungkin, hujan memang sahabat bagi penulis. Mungkin...
Dear Kompasiana,
setelah itu, aku selalu menyempatkan diri mengunjungi halamanmu, bahkan lebih memilih untuk boleh berdiam di rumahmu. Setiap peristiwa yang terjadi, kulihat, kurasa dan kudengar, seperti menghipnotisku untuk kutuangkan dalam setiap tulisan. Entah puisi. Entah Cerpen.
Pada saat tertentu, aku dapat menuliskannya dengan sangat penuh perasaan, seperti cerpen Menulisi Waktu : yang kupetik dari lara seorang sahabat dan kubumbui dengan majas hatiku.
Juga pada puisi Pelaminan Kertas ; aku menuliskannya dengan air mata yang berjatuhan di lubuk hati, lantaran sahabatku sejak SMP hanya bisa menangisi biduk rumah tangganya yang kandas oleh sebab yang tak pernah diduga akan terjadi.