Lihat ke Halaman Asli

Kompasiana

TERVERIFIKASI

Akun Resmi

Rendahnya Angka Lulusan S2 dan S3 di Indonesia

Diperbarui: 17 Januari 2024   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi mahasiswa, wisudawan. (Diolah kompasiana dari iStockPhoto/LaylaBird via kompas.com)

Menurut Kompasianer, seberapa penting seseorang menempuh pendidikan Magister (S2) dan Doktor (S3)? Apa saja yang memengaruhi keputusan seseorang untuk melanjutkan studi ke S2 dan S3? Apakah tingginya strata pendidikan berbanding lurus dengan tingginya jabatan, prospek karier, hingga penghasilan?

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo menghadiri pembukaan Konvensi Kampus XXIX dan Temu Tahunan Forum Rektor Indonesia di Surabaya, Senin (15/1). Presiden terkaget-kaget dengan rasio jumlah lulusan S2 dan S3 Indonesia terhadap penduduk produktif terhitung lebih rendah daripada Vietnam dan Malaysia.

Angka lulusan S2 dan S3 di Indonesia hanya 0,45 persen. Sedangkan negara tetangga di Asia Tenggara sudah mencapai angka 2,43 persen atau sekitar lima kali lipat. Di sejumlah negara maju, persentasenya malah sudah mencapai 9,8 persen.

Melihat fenomena ini, Presiden Jokowi langsung memberi perhatian khusus dengan mengambil kebijakan meski akan membutuhkan anggaran yang besar.

Hmm, tapi di lain tempat, Menko PMK Muhadjir Effendi mengungkapkan rencana Pemerintah untuk menghentikan sementara pengalokasian anggaran bagi pembiayaan LPDP lantaran jumlah anggaran LPDP sudah menumpuk hingga 150 T.

Lalu kira-kira strategi apa yang akan ditempuh Pemerintah untuk meningkatkan jumlah lulusan S2 dan S3 di Indonesia? Atau, apakah Kompasianer punya usulan? Misalnya dengan mendorong PTN membuka program paket Sarjana-Magister. Atau usul supaya posisi strategis tertentu wajib diduduki oleh karyawan S2 sehingga kantor-kantor memberi penugasan kepada karyawannya untuk melanjutkan studi.

Lalu, bagaimana dengan Kompasianer? Faktor apa yang membuat Kompasianer enggan melanjutkan studi ke S2 dan S3? Apakah karena kendala biaya, beban belajar yang tak lagi relevan dengan kebutuhan hidup, atau karena tidak adanya program studi yang sesuai dengan minat Kompasianer?

Bagaimana dengan Kompasianer yang sudah menempuh studi S2 dan S3? Keuntungan apa yang Kompasianer dapatkan dengan memiliki gelar Master dan Doktor? Bagaimana relevansi ilmu tersebut dengan pekerjaan yang kini dilakoni?

Sampaikan opini maupun pengalaman Kompasianer terkait topik berikut dengan menambahkan label Lulusan S2 S3 (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline