Apakah Kompasianer selama ini menjaga citra di media sosial demi karier? Setujukah Kompasianer dengan anggapan bahwa media sosial merepresentasikan diri kita seutuhnya?
Belakangan ini seorang praktisi dan influencer dunia pekerjaan viral karena menyampaikan bahwa recruiter kerap melakukan background checking dengan menganalisis medsos kandidat. Menurut keterangannya, 70% rekruter melakukan hal ini saat proses perekrutan.
Memang, selain surat lamaran dan CV, banyak perusahaan meminta pelamar untuk mengisi formulir lowongan yang di dalamnya ada kolom untuk menyertakan alamat media sosial. Sayangnya pada beberapa kasus, pengecekan media sosial kerap dilakukan "tersembunyi".
Pengecekan ini dilakukan untuk melihat rekam jejak pelamar, terutama yang berkaitan dengan pola interaksi digitalnya. Pasalnya merekrut orang yang "bermasalah" tentu akan membawa risiko tersendiri terhadap perusahaan.
Kompasianer, apakah background checking melalui medsos adalah tindakan yang etis? Validkah hasilnya? Di sisi lain, bukankah pada kehidupan sehari-hari kita diam-diam suka melakukan background checking medsos? Misalnya saat dekat dengan gebetan atau saat kepo dengan teman?
Bagaimana kamu menentukan apakah dia red flag atau green flag berdasarkan postingan medsosnya?
Yuk buat konten dengan tema ini, tambahkan label Background Check Medsos (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H