Apakah Kompasianer setuju jika OTT (over the top --penyedia layanan video internet) dimasukkan ke dalam golongan platform penyiaran? Jika, ya, skema apa yang tepat guna untuk mengaturnya?
Belakangan, tersiar kabar bahwa Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi tengah mengkaji serius kemungkinan layanan streaming film seperti Netflix dan Disney+ masuk ke dalam golongan platform penyiaran seperti siaran TV konvensional.
Dengan demikian, siaran dari OTT bisa kena sensor sebagaimana tayangan free to air (FTA).
Jika sungguh terjadi, siapa yang akan mengawasi penyensoran? Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau lembaga baru?
Budi Arie Setiadi menganggap tidak adil bila satu produk film dikontrol, sedangkan OTT bebas.
Apa ya alasannya? Apakah karena ditemukannya konten yang berbau pornografi atau negatif di layanan video berlangganan (OTT)? Apakah berarti selama ini Ditjen Aplikasi Informatika belum berfungsi maksimal?
Dampak apa yang langsung konsumen rasakan kalau aturan ini diberlakukan? Apakah semakin sedikitnya pilihan tontonan kita karena OTT makin selektif menyediakan film untuk penonton Indonesia?
Silakan beri opini maupun tanggapan Kompasianer terkait topik ini dengan menambahkan label Menkominfo Sensor OTT (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H