Ada berapa banyak kartu yang Kompasianer punya di dompet saat ini? Pernah punya pengalaman tidak mengenakkan akibat kebanyakan kartu? Misalnya, saat dompet hilang lalu mesti mengurus semua kartu satu per-satu?
Mungkin ini jadi langkah awal yang baik. DJP dan Ditjen Dukcapil akan mengintegrasikan data kependudukan dengan basis data perpajakan. Kerja sama yang selama ini dilakukan dari Ditjen Dukcapil dan DJP membuahkan hasil: NIK sebagai NPWP mulai berjalan pada tahun 2023.
Hal ini tentu saja bertujuan memudahkan masyarakat wajib pajak untuk membayar pajak tanpa perlu membuat NPWP lagi. Sedangkan bagi pemerintah, misalnya, dengan integrasi data kependudukan dan perpajakan ini akan semakin memperkuat upaya penegakan kepatuhan perpajakan.
Membayangkan ini berjalan tahun depan, barangkali, kita jadi ingat bagaimana sistem data kependudukan di Amerika Serikat, yaitu Social Security Number (SSN).
Jadi, SSN itu merupakan nomor identitas yang diberikan kepada setiap penduduk Amerika yang legal dan mencatat semua data dalam bentuk kartu. Apakah sistem seperti ini bisa dan cocok digunakan di Indonesia?
Sebagaimana SSN, data kependudukan terekam secara nasional dan terpadu sehingga sistem mampu mendeteksi siapa saja yang tinggal di negara tersebut, bahkan memantau mobilitasnya.
Jika memang itu (masih) terlalu jauh untuk diterapkan, baik secara infrastruktur dan teknologi, apakah Kompasianer ada usul lain mengenai sistem data kependudukan yang baik? Bagaimana tanggapan Kompasianer atas terintegrasinya NIK dan NPWP ini?
Kompasianer juga bisa ceritakan pengalaman yang ada kaitannya dengan permasalahan data kependudukan dan pengurusan pajak karena NPWP, misalnya. Silakan tambah label NIK Jadi NPWP (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H