Pernah nggak merasakan momen saat perasaan sedang remuk redam, tapi diminta untuk tetap semangat dan beraktivitas sebagaimana biasa?
Misalnya: ketika sedang berduka karena ada keluarga meninggal, tapi orang-orang di sekeliling kita berusaha meyakinkan bahwa hati yang gembira adalah obat.
Atau, ketika sedang putus cinta dan demotivasi bekerja, orang lain menasihati dengan kata-kata "Hidup itu harus bersyukur. Masih untung kamu masih punya rezeki. Coba lihat orang lain di luar sana yang tidak seberuntung kamu."
Kita percaya bahwa maksud orang-orang tersebut baik. Mereka berniat menghibur dan mengajak untuk selalu berpikir positif. Tetapi kita perlu mengetahui bahwa rasa sedih, duka, kecewa, dan putus asa bukanlah emosi negatif yang harus ditolak. Emosi tersebut wajar dan bisa dialami setiap orang.
Setiap orang butuh jeda waktu untuk mengolah kesedihannya. Sebaliknya, menyuruh mereka untuk "selalu positif" tanpa mengindahkan perasaan sedih malah bakal mendorong ke fenomena yang kini disebut "toxic positivity".
Kompasianer, apakah kamu pernah menerima toxic positivity? Atau kah kamu salah seorang yang selama ini menahan sedih dan amarah? Hati-hati lho, menahannya dapat membuat emosimu menumpuk dan tidak terkontrol.
Jika pernah mengalami hal tesebut, apa yang biasanya Kompasianer lakukan? Atau, secara tidak sadar justru Kompasianer yang melakukan itu pada orang lain?
Silakan berbagi pengalaman terkait topik berikut dengan menambahkan label Toxic Positivity (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H