Pada Oktober lalu, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan kabarnya akan mewajibkan pajak para pebisnis daring (online). Bukan hanya itu, orang-orang yang mendulang uang melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram pun akan dikenai wajib pajak dengan mekanisme pajak penghasilan pribadi, termasuk para selebriti yang melakukan endorsement sebuah produk.
Bukan tanpa sebab, pasalnya jumlah potensi pemasukan yang berasal dari pajak bisnis daring ini ternyata cukup besar. Diperkirakan bisa mencapai US 1,2 miliar atau setara dengan Rp 15,6 triliun. Selama ini memang kegiatan bisnis online berupa marketplace maupun media sosial memang berada dalam wilayah abu-abu soal pemungutan pajak.
Selama ini, bisnis online seolah sudah cukup banyak menyelamatkan hidup sebagian masyarakat yang ingin berbisnis tetapi tidak memiliki modal cukup untuk menyewa sebuah lapak. Dengan adanya bisnis online atau daring, mereka menjadi lebih mudah untuk berjualan dan pembeli pun tidak terbatas hanya dari satu daerah saja. Cakupan bisnis online memang sangat luas, karena dengan memanfaatkan jaringan internet maka hubungan antara penjual dan pembeli tidak terbentur tembok geografis.
Catatan lain yang membuat bisnis online semakin menjamur adalah efisiensi biaya. Tapi pertanyaannya jika kemudian pelaku bisnis online dikenai biaya pajak tambahan maka tidakkah ini memberatkan penjual dan pembeli? Penjual akan terbebani karena keuntungan berkurang dan pembeli pun ikut terkena imbas jika si penjual menaikkan harga jual demi menutup biaya pajak ini.
Pertanyaan inilah yang muncul dalam benak Kompasianer Rudy Kisaran. Menurutnya, di Indonesia sendiri fasilitas untuk bisnis online dari infrastruktur internet masih sangat kurang. Ia sendiri mengakui sebagai konsumen bisnis online, sangat terkejut dengan pungutan pajak ini. Pasalnya dengan adanya pungutan pajak ini tentu saja berimbas pada harga barang yang ia beli. Sejatinya membeli barang dengan cara melalui situs online adalah untuk mencari harga termurah, namun dengan adanya pungutan pajak ini harga menjadi lebih mahal dan tidak berbeda dengan harga di toko offline.
"Regulasi ini aneh menurut saya, hampir mirip dengan mobil listrik ataupun hybrid. Di negara lain mobil ini disubsidi agar harga jual bisa murah sehingga tingkat polusi bisa dikurangi. Di Indonesia malah dianggap mobil mewah sehingga Toyota Prius jarang terlihat berkeliaran di negara kita ini," tulis Rudy.
Memang jumlah potensi pajak bisnis online ini besar, diperkirakan mencapai USD 1,2 miliar, tetapi tetap saja ini menjadi beban berlebih bagi para pelaku bisnis online baik penjual maupun pembeli. Penjual biasanya tidak ingin ikut terbebani dengan jumlah pajak yang harus dikeluarkan sehingga ia akan menambahkan biaya ini pada harga barang, konsumenlah yang menjadi korban menurut Rudy.
Sepatutnya pajak untuk pelaku bisnis online ini tidak dalam bentuk pungutan tambahan. Harus ada cara lain untuk menyiasati tata cara pengambilan pajak ini agar konsumen tidak ikut terbawa menjadi korban kenaikan harga karena pajak ini.
Memang, pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dari Kompasianer tentang pemungutan pajak bagi pelaku bisnis yang memanfaatkan media sosial ini. Tidak bisa dipungkiri juga bahwainformasi yang tersaji secara cepat dan tepat membuat bisnis online tumbuh subur. Semua barang bisa dijajakan di dunia maya, mulai dari rongsokan hingga produk-produk bernilain tinggi.
Sejatinya, dasar hukum yang digunakan pemerintah untuk membebankan pajak pada pelaku bisnis online termasuk para endoser di media sosial tidak berbeda dengan aturan yang diberlakukan untuk pelaku bisnis konvensional. UU nomor 36 Tahun 2008 pasal 2 ayat 1 menjadi "senjata" ampuh.
Kewajiban untuk membayarkan pajak penghasilan ini terhitung sejak saat seseorang menjalankan sebuah badan usaha atau melakukan kegiatan usaha sehingga memperoleh penghasilan. Artinya, pemerintah berpendapat ketentuan pajak yang berlaku bagi pengusaha online tidak dibedakan dengan ketentuan pajak pada toko konvensional.