Banjir merupakan salah satu masalah perkotaan yang sampai saat ini masih sulit untuk diselesaikan. Karena berbagai faktor, beberapa kota di Indonesia telah menjadi langganan banjir, salah satunya adalah Bandung. Beberapa hari yang lalu, kita dikagetkan kembali oleh video banjir di Pasteur, Bandung yang menyita banyak perhatian.
Menilik kembali banjir Bandung yang terjadi pada bulan Maret lalu, disebutkan bahwa banjir kala itu merupakan yang terparah. Banjir yang melanda Kabupaten Bandung kala itu diakibatkan oleh meluapnya Sungai Citarum.
Bandung saat ini yang sering banjir bukan terjadi tanpa sebab. Kawasan Bandung, terutama bagian utara, perlahan-lahan berubah. Menurut Kompasianer Rinsan Tobing, kawasan utara Bandung yang dulu berupa kawasan yang hijau dan berfungsi sebagai daerah resapan air, berubah menjadi kawasan pemukiman dan bisnis, terutama menjamurnya penginapan dan restoran. Lahan hijau berubah gersang. Untuk tujuan wisata dan permukiman, kawasan Bandung Utara memang memiliki pemandangan yang sangat memukau.
Namun, perubahan ini pasti menghasilkan suatu konsekuensi. Rusaknya kawasan dengan perambahan masif membuat berkurangnya ruang terbuka hijau di kawasan Bandung. Bagian utara Bandung yang seharusnya menjadi daerah resapan air sudah berubah fungsinya. Hal ini mengakibatkan kurangnya air masuk ke tanah dan meningkatnya air permukaan yang meluncur deras ke daerah yang lebih rendah.
Rinsan menuturkan, banjir pada Maret 2016 lalu merupakan bukti bahwa Bandung Selatan mengalami dampak terbesar dari perubahan besar-besaran yang terjadi di kawasan Bandung Utara. Banjir tersebut juga merupakan banjir yang terparah dalam 10 tahun terakhir.
"Dari tahun ke tahun banjir yang terjadi semakin buruk. Disamping luasannya, juga lamanya air tergenang. Kalau banjir-banjir sebelumnya hanya hingga Dayeuhkolot dan Baleendah, banjir terakhir hingga Banjaran dan Arjasari. Kecamatannya bertambah. Di samping diakibatkan kawasan utaranya yang sudah rusak, kerusakan kawasan timur dan barat dicurigai berkontribusi juga terhadap banjir tahun ini." tulis Rinsan.
Ia melanjutkan bahwa pola penanganan yang dilakukan oleh pemerintah kota masih bersifat kuratif. Upaya preventifnya belum muncul sehingga tahun-tahun berikutnya, dikhawatirkan kawasan Selatan menerima banjir yang semakin besar, sementara kawasan Utara akan semakin indah di malam hari. "Utara yang bersolek, Selatannya yang terseok-seok. Utaranya yang berkembang, Selatannya yang tergenang," tambahnya.
Dilihat dari perspektif lain, hal yang menyebabkan Bandung mengalami banjir besar menurut Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah kerusakan lahan terutama di daerah hulu sungai Citarum. Praktik teknologi pertanian dan pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan banyak terlihat di sekitar kawasan hulu.
Besarnya pertanian kentang yang menyebabkan erosi dapat berakibat terjadinya degradasi lahan dan penurunan kapasitas aliran sungai akibat sedimentasi yang tinggi. Penanaman rumput gajah di kawasan puncak Gunung Wayang juga bukan merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi kawasan lindung dengan kemiringan terjal.
Masyarakat di sekitar hulu dengan mudahnya mengabaikan kelestarian alam karena faktor utama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satunya yakni mereka mendapat penghidupan yang cukup dan layak dari pemanfaatan rumput gajah sebagai makanan ternak yang murah.
Menurut sang penulis Muhajir Arif Rahmani dari ACT, permasalahan yang dihadapi oleh sungai Citarum harus diselesaikan secara keseluruhan dan tidak hanya bisa dilakukan di lokasi tertentu saja. Maka dari itu, penanganan Citarum membutuhkan perhatian dari semua pihak, dari hulu hingga hilir.