[caption caption="Stiker Uber menempel pada salah satu mobil sewaan. Kompas.com/Oik Yusuf"][/caption]Pertengahan Maret lalu, protes besar-besaran dilakukan oleh para pengemudi taksi konvensional. Mereka melakukan aksi protes secara bertahap sejak 14 hingga 16 Maret lalu.
Para pengemudi ini yang tergabung dalam PPAD dan FFK MPAU melakukan aksi mogok masal dan kemudian berujung unjuk rasa besar-besaran. Mereka mengatakan tidak akan menghentikan aksi ini sebelum pemerintah menutup jasa angkutan umum berbasis online.
Aksi ini dilakukan karena angkutan umum berbasis online dinilai telah merebut pangsa pasar yang mereka miliki dan merugikan angkutan konvensional. Kala itu mereka melakukan pemblokiran jalan-jalan protokol sehingga membuat kemacetan di mana-mana.
Para pengemudi angkutan konvensional ini menuntut pemerintah untuk segera menutup jasa angkutan umum berbasis aplikasi karena dianggap ilegal. Mereka menggunakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 sebagai alasan untuk menuntut angkutan umum online agar segera ditiadakan.
Namun, Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan menjelaskan bahwa Undang-Undang ini tidak melarang dan tidak bertentangan dengan aplikasi online yang jadi produk perusahaan penyedia jasa tersebut.
Artinya, harus ada solusi yang segera dari pemerintah agar aplikasi online bisa dianggap legal dan tidak lagi dinilai melanggar aturan. Kompasianer tentu juga memiliki pandangan masing-masing soal solusi yang bisa diberikan untuk polemik ini. Berdasarkan hasil rangkuman topik pilihan Kontroversi Angkutan Umum Online, berikut ini adalah sejumlah solusi yang diusulkan Kompasianer agar polemik ini bisa diatasi.
1. Sistim Order Transportasi Online Terpadu
Konsumen kurang selektif. Para pengemudi dari penyedia jasa angkutan umum online ini dari berbagai kalangan dan latar belakang, sehingga insiden-insiden tidak elok kerap terjadi. Itulah yang dikatakan Sigit Budi dalam tulisannya. Menurutnya, harga yang ditawarkan oleh angkutan umum daring (dalam jaringan) ini membuat konsumen mudah tergiur.
Sebenarnya, penyedia taksi mainstream atau konvensional tentu memiliki sebuah standar baku sehingga layanan mereka di lapangan seragam. Tidak membedakan gender dan latar belakang penyewa jasa mereka. Secara hukum, mereka terlindungi hak dan kewajiban harus dijamin oleh perusahaan penyedia.
Lantas bagaimana dengan jasa angkutan daring? Apakah mereka punay standar layanan profesi? Menurut Sigit, poin ini juga patut mendapat perhatian agar tidak muncul lagi insiden antara konsumen dan penyedia layanan angkutan daring. Jika ditelaah, memang masalah ini berakar pada masalah "perut". Kehadiran angkutan daring mengurangi "kue" penghasilan pengemudi taksi konvensional.
Sigit menambahkan, pemerintah harus bisa menjembatani masalah ini. Pemerintah harus bisa berperan sebagai mediator. Dan solusi yang disarankan oleh Sigit adalah, semua stakeholder transportasi bisa diajak berembuk, berdiskusi. Kemudian hadirkan pakar-pakar IT untuk membuat sebuah sistim transportasi terpadu yang melibatkan semua penyedia jasa baik roda dua dan roda empat.
2. Solusi untuk Angry Bird dan Teman Konvensionalnya
[caption caption="Salah satu kaca mobil taksi pecah saat berunjuk rasa. KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO"]
[/caption]Kemajuan teknologi terlebih soal gadget memang tidak bisa dibendung lagi. Pengusaha muda kreatif berlomba untuk memanfaatkan kemudahan teknologi gadget. Dari situlah mulai muncul beberapa solusi transportasi yang carut marut di Jakarta. Seperti itulah anggapan Herman Sutopo dalam ulasannya.