[caption caption="Ilustrasi - Penanganan ujaran kebencian (Kompas)"][/caption]Sederet perempuan paruh baya di sebuah kampung terlihat guyub nan asyik duduk berderet sambil memetani kutu sambil ngerumpi. Sambil memites kutu hingga mati yang diperoleh dari helai rambut perempuan yang mendongakkan kepala, mereka terlihat asyik menghabiskan sore sambil bercerita. Mulai dari si Sarinem yang suaminya selingkuh, hingga tentang perawan desa seberang yang sering mendapat tamu muda nan perkasa yang hilir berganti.
Keguyuban kaum perempuan desa ini sepintas seperti diorama kehidupan sebuah desa yang lekat dengan bumbu-bumbu cerita penuh opini, yang mungkin kian jarang ditemui di selasar rumah masa kini. Musim pun berganti, dan aliran teknologi tiada berhenti. Sarana bersuara berbumbu opini kini telah berganti wadah melalui jejeran media sosial. Literasi media pun sempat menjadi cemar penuh kata negatif yang sulit dihenti.
Hingga akhirnya Pak Polisi pun tampak gelisah dan melahirkan Surat Edaran untuk menertibkan isi dalam jaring-jaring sosial yang tiada isi. Satu sisi menyulut kesal nan benci karena membatasi kebebasan beropini, namun di sisi lain diskriminasi para pembenci harus dihalangi demi terciptanya kehidupan yang harmonis.
Berikut ini tujuh opini Kompasianer tentang Surat Edaran Penanganan Ujaran Kebencian atau "hate speech":
1. Moral: dari Asap hingga Haters
Begitu banyaknya persoalan di negara ini seakan datang bertubi-tubi tiada henti. Kita disibukkan oleh masalah ekonomi, politik sehingga seakan lupa pada hal lain yang justru sangat penting, yang disebut Muhammad E Irmansyah yaitu masalah moral.
Kita lihat saja di media sosial betapa banyak orang yang menebar kebencian dengan dalih kebebasan mengutarakan pendapat. Padahal Pemilu dan Pilpres sudah lama berakhir. Gambar, ujaran kebencian (hate speech) yang bernuansa pelecehan, diskriminasi, pengucilan, kekerasan sampai pembantaian etnis kerap kita dengar dan lihat pada pembicaraan di media sosial dari mulai Facebook sampai WhatsApp Group.
[caption caption="Shutterstock (ilustrasi.)"]
[/caption]Menurut Irmansyah, ujaran kebencian yang tidak bertanggung jawab apalagi diungkapkan di ruang publik berpotensi konflik sosial dan ini akan sangat tidak menguntungkan bagi bangsa dan negara ini.
2. Ada Apa dengan Hate Speech?
Nanda Sihombing menarik sebuah contoh mulai dari Luna Maya memaki infotainment lewat Twitter yang terjadi pada akhir tahun 2009 hingga kasus Prita terkait ketidakpuasannya dengan pelayanan OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang. Dalam menggunakan hak kebebasan mengemukakan pendapat, kita seharusnya memegang prinsip bebas dan bertanggung jawab. Menurut Nanda, menjadi pribadi yang cerdas, santun, dan menjunjung tinggi kesopanan dalam menyampaikan setiap aspirasi atau keluhan kita merupakan esensi dari sebuah kebebasan.
3. Seperti Lalat, Haters Tidak Akan Berubah
Secara filosofis, dilihat dari sudut etika dan standar, Hanny Setiawan mengumpamakan haters seperti Lalat dan Lebah. Berbeda dengan lebah yang kegemarannya mencari dan menghasilkan bunga-bunga keindahan, lalat justru mencari kebusukan dan kejelekan.
Kesukaan mereka bukan pada keindahan, keberhasilan, kebaikan dan sebagainya, tetapi pada bangkai, hal-hal busuk, tempat sampah, dan mengorek luka-luka. Jadi akhirnya, Hanny memetik sebuah simpul yang bijak untuk mengajak kita memikirkan hal yang benar, yang mulia, yang adil, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji. Pikirkanlah semuanya itu.
4. Salahkah Mengkritik Presiden?
Masihkah ingat dengan Cak Nun, suami dari aktris Novia Kolopaking yang dikenal sebagai budayawan dan dijuluki Kyai Mbeling? Pada eranya dulu Pak Dhe Sakimun sampai rela patungan dengan lima kawannya untuk membeli kaset ceramah Cak Nun yang harganya 10 kali lipat dari kaset biasa isinya cuma memohon (bukan memaksa) kepada Pak Harto untuk menyerahkan kepemimpinannya kepada yang muda-muda. Itu pun nyetelnya pelaaaaan sekali volume suaranya, agar tidak sampai terdengar dari luar.