[caption caption="Sumber: Tribunnews.com"][/caption]
Kira-kira kapan Masa Orientasi Siswa (MOS) diadakan untuk pertama kalinya di Indonesia? Kompasianer Gustaaf Kusno mengatakan bahwa MOS adalah warisan nilai kolonial Hindia Belanda. Betulkah? Namun kapan dan bagaimanapun awalannya, kini MOS telah menjadi tahapan lumrah dari prosesi penerimaan siswa/i baru di berbagai tahap pendidikan di negara kita. Meski awalnya bertujuan untuk mengenalkan siswa/i pada lingkungan belajar, tetapi pada praktiknya siapa yang tahu? Penyelewengan praktik MOS menuju aksi bullying lambat laun menyempitkan makna MOS menjadi sekadar ajang penggojlokan. Kekerasan, pemakaian atribut yang mengada-ada hingga pelecehan seksual akhirnya malah membuat siswa dan siswi merasa ngeri tatkala harus memulai jenjang pendidikan yang baru.
Pembaruan MOS pun dilakukan dari tahun ke tahun. Namanya diubah seiring dengan dikeluarkannya imbauan dari pemerintah untuk mengubah format masa orientasi menjadi lebih akademis. Tetapi apakah perubahan nama akan serta merta menjamin ritual MOS bebas dari praktik bullying? Fenomena tahunan ini menarik perhatian Kompasianer untuk menuliskan kesan dan opininya mengenai MOS. Ada yang menulis dari sudut pandang siswa, guru, orang tua, dan bahkan praktisi pendidikan. Tak hanya mengecam, tetapi juga banyak Kompasianer yang menilai bahwa MOS masih aktual untuk diterapkan di Indonesia. Iya, di Indonesia. Karena menurut Kompasianer Zulfakizra Zulhan dan Mariam Umm, mereka tidak menemukan praktik MOS di Australia dan Arab Saudi.
1. Dampak Berita Negatif MOS pada Mental Anak
Kompasianer Yos Asmat Saputra merasa bingung harus sedih atau gembira ketika anaknya tiba-tiba mengutarakan niat untuk masuk pesantren. Padahal sebelumnya, anaknya telah menampik tegas usulan sang ayah tersebut. Setelah diusut, ternyata anak Yos Asmat menjadi ciut masuk sekolah negeri karena simpang siur berita di televisi soal praktik MOS yang biasanya diterapkan di sekolah reguler. Duh..
[caption caption="Sumber: Klinik Fotografi Kompas"]
[/caption]
2. Masa Orientasi Tingkat SMP: Orang Tua Deg-Degan
Kompasianer Elisa Koorag merasa deg-degan bukan karena khawatir anaknya diperlakukan kasar oleh penyelenggara MOS, melainkan karena puteranya yang hobi ‘memberikannya PR’ di waktu mendadak. Malam hari, Elisa Koorag dibuat panik dengan tugas MOS sang anak untuk berfoto bersama penjual nasi goreng. Lain hari, sang anak menagih jenis minuman tertentu, tepat sebelum berangkat sekolah.
[caption caption="Sumber: edukasi.kompas.com"]
[/caption]
3. Antara Siswaku dan Kerukukan
Jangan dipikir hanya orang tua dan siswa yang pusing saat masa orientasi. Guru pun dibuat kalang-kabut dengan berbagai ketentuan yang diterapkan pihak sekolah terkait standar pelaksanaan dan muatan nilai yang harus disampaikan kepada siswa. Terlebih karena Kompasianer Akhmad Fauzi bertugas mengangkat tema Bhinneka Tunggal Ika yang berat untuk didiskusikan. Siapa sangka, siswa dan siswi yang dihadapinya justru telah akrab dengan isu intoleransi beragama. Tugasnyalah sebagai guru untuk meyakinkan para peserta bahwa Indonesia masih punya tempat untuk kerukunan antar umat beragama. Meski dalam batin kecilnya, ia pun pesimis juga…
[caption caption="Sumber: Dokumen dari Artikel Akhmad Fauzi"] [/caption]