Lihat ke Halaman Asli

Jokowi dalam Revolusi Mental

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pak Jokowi hebat. Selain sebagai Calon Presiden, juga kolomnis di surat kabar. Nada tulisannya, seperti lisannya. Bersahaja, tetapi penuh makna. Sebagai akademisi, saya mengacungkan jempol karena Jokowi yang sangat sibuk dengan hiruk pikuk politik, sebagai capres beliau masih sempat nulis. Sabtu pagi (10/5), saya terkejut membaca Kompas rubrik opini, ada judul tulisan Revolusi Mental, oleh Joko Widodo (calon presiden). Ini kejutan, dan hebat, karena menulis butuh konsentrasi, dan nulis adalah pekerjaan bagi orang yang sibuk.

Sebagai penulis dan calon pimpinan bangsa, Jokowi dalam tertulisnya membentangkan konsep manajemen pembangunan bangsa (nation building) pada kondisi saat ini, harus diwujudkan. “Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.” Demikian dia mengatakan dalam tulisannya.

Konsep Trisakti

Mantan walikota Solo, yang meloncat ke kota Metropolitan sebagai Gubernur DKI Jakarta ini, tentu tidak dapat ditiru oleh siapa pun, termasuk para elite politik di negeri ini. Bahkan, loncatan politik dari jabatan gubernur DKI ke calon presiden (capres) membuat kejutan banyak kalangan. Pada sisi lain, hadirnya Jokowi sebagai calon presiden, sontak mendapat sambutan positif oleh rakyat yang merindukan pimpinan yang bersahaja.

Seperti yang dituturkan oleh Munawir Aziz ;   Peneliti, visiting researcher di Goethe Universitat Frankfurt Jerman, Direktur the North Coast Center (NCC) Staimafa Pati, SM (22/3/2014), “Jokowi hadir di tengah kerinduan rakyat tentang sosok Ratu Adil. Ia tampil laiknya rakyat merindukan Diponegoro, Tjokroaminoto, Soekarno dan Jenderal Soedirman. Jokowi menggunakan sentuhan satriya piningit untuk membawa api inspirasi dan penggerak perubahan rakyat, yang tengah terkapar karena bencana dan politik korup. Inilah peran Jokowi yang dirindukan oleh rakyat.”

Tampilnya Jokowi sebagai capres 2014, menjadikan panggung politik semakin hangat dan dinamis. Nama Jokowi membawa pengaruh posistif perpolitikan di Indonesia. Nuansa pertarungan politik semakin meningkat dengan warna standar kualitas kepemimpinan. Ia mempunyai daya pembeda dan keunggulan, di tengah-tengah para elite politik yang umumnya hanya bermodal ambisi, tanpa konsep yang jelas sebagai seorang negarawan.

Sebagai kader PDI-P, Jokowi sangat paham tentang konsep pemikiran dari leluhurnya. Bung Karno waktu hidupnya, sebagai negarawan tentu sangat mengharapkan ada kadernya yang mampu menterjemahkan konsep politiknya. Kopsep berpikir yang tidak hanya untuk sekelompok orang atau golongan (partainya), tetapi secara universal mampu mengejawantahkan dalam konsep wawasan kebangsaan.

Jokowi dan Soekarno, tampak ada benang merah dari sisi pemikiran dan ideologisnya. Bahkan, Jokowi dalam membangun visi kebangsaan, ingin melakukan revolusi mental, yang sekarang ini dianggap mengalami degradasi mental yang luar biasa dialami oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Terlebih dalam ranah mental-budaya politik, yang semakin hari semakin tambah rusak.

Menurutnya, “Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.”

Terlepas apakah nantinya ia jadi Presiden Indonesia atau tidak, yang jelas Jokowi adalah kader yang cerdas dan mempunyai intuisi kuat untuk menyambungkan kerangka berpikir dari pendiri negeri ini. Hal ini sesuai dengan pemikiran yang ditulisannya,“Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.”

Pimpinan Visioner

Jokowi sebagai pimpinan dan elite politik yang mempunyai pemikiran ideal, diharapkan mampu membangun jaringan yang kuat dengan pimpinan-pimpinan lainnya. Kalau melihat kiprahnya selama ini, secara pribadi dan kelembagaan Jokowi mampu bertransaksi untuk membangun jejaring (linkage) dengan siapa saja.

Indikasi kesuksesan dalam memimpin masyarakat Solo sudah bisa dirasakan, dan faktanya masyarakat Solo merasa terayomi, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraanrakyat meningkat di Propinsi Jawa Tengah. Hijrah ke DKI Jakarta, sebagai Gubernur di kota metropolitan karakternya tidak berubah, sikap bersahaja dan gaya blusukan terus dilakukan.

Konsep kepemimpinan Jokowi sebagai leader yang visioner, sudah bisa kita baca. Kebijakan yang dibangunberdasarkan regulasi dan alokasi yang jelas dalam memimpin selama ini, menjadi modal untuk memimpin Indonesia yang lebih baik.

Maswan, dosen FTIK Universitas Islam Nahdlatul Ulama (Unisnu) Jepara, mahasiswa S-3 Manajemen Pendidikan Unnes Semarang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline