Lihat ke Halaman Asli

Kompas.com

TERVERIFIKASI

Kompas.com

Jokowi dan Pentingnya Kritik Berbasis Data

Diperbarui: 17 April 2018   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo berpidato saat menghadiri Silaturahmi Penyuluh Agama Jawa Tengah 2018 di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (14/4). Silaturahmi yang diikuti sekitar 5.711 penyuluh lintas agama se-Jateng tersebut membahas sejumlah isu diantaranya tentang kerukunan antarumat beragama, dan penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui penerapan nilai-nilai Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika.

BEBERAPA hari lalu, di Bogor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pihak yang mengkritik agar berbasis data, dengan begitu kritik yang dilontarkan menjadi memiliki nilai kontribusi positif dengan menyediakan solusi alternatif bagi kebijakan pemerintah. Tidak asal bunyi.

Kritik tanpa data, seperti halnya informasi palsu (hoaks) sebenarnya sulit untuk dipahami tapi semakin menjadi-jadi khususnya di tahun politik saat ini. Dalam beberapa debat pilkada, kritik tanpa data marak terjadi. Bagi awam yang tak paham, bisa jadi dialektika yang disampaikan masuk akal, meski sesungguhnya menggelikan bahkan menyedihkan.

Banjir kritik tanpa data sejatinya sudah sejak empat dekade lalu diprediksi Alvin Toffler lewat Future Shock. Dalam buku tersebut, Toffler memprediksi hadirnya era di mana terjadi informasi yang berlebihan (information overload).

Kondisi tersebut terjadi saat ini. Dimana tidak ada yang bisa menghambat derasnya arus informasi.

Baca juga : Presiden Jokowi: Kritik Boleh, Cemooh Jangan

Jika kita melihat Indonesia sekitar 15 tahun lalu, sumber informasi yang bisa diakses secara luas masih Radio, TV, dan media cetak. Masa ketika informasi yang dikonsumsi telah melalui proses redaksional yang artinya melalui serangkaian proses jurnalistik untuk menjamin kualitas informasi.

Saat ini, melalui media sosial, semua orang bisa berbagi informasi, baik di lingkaran pertemanannya atau ke khalayak yang lebih luas. Masalah kemudian muncul. Segala jenis informasi beredar, dari tingkat gosip yang tidak bisa dipertanggungjawabkan hingga jurnal akademis.

Kesenjangan tingkat dan akses informasi ini direproduksi menjadi semakin silang sengkarut dengan karakter peredaran media sosial yang sangat in-group. Walau memiliki karakter inklusif, sebenarnya media sosial, dengan metode persebarannya yang sangat in-group, memiliki potensi memperlebar kesenjangan peredaran informasi.

Dengan algoritma yang diterapkan platform media sosial, tentunya karena kepentingan digital marketing, membuat informasi yang beredar di lingkaran kelompok adalah informasi yang ingin dikonsumsi sesuai selera (preferensi) individu maupun kelompok, bukan informasi beragam yang memang perlu dibaca untuk memicu perkembangan wawasan dan keberagaman. Inilah yang semakin memperlebar kesenjangan persebaran informasi.

Premis bahwa pertumbuhan arus informasi akan merangsang pertumbuhan ekonomi menjadi patah karena dua hal.

Pertama, sebagian besar informasi yang beredar tidak memiliki nilai kemanfaatan. Kedua, karena informasi yang beredar di kelompok adalah informasi yang itu-itu saja sesuai preferensinya. Ini menghambat proses inklusivitas informasi, dan memperlebar kesenjangan literasi informasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline