JAKARTA, KOMPAS.com - Regulasi yang mengatur tentang politik uang atau mahar politik makin ketat namun upaya pemberian sanksi kerap gagal.
Hal itu disampaikan Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw di acara diskusi publik "Menciptakan Politik Bersih Tanpa Mahar Untuk Indonesia Sejahtera", yang diselenggarakan Gerakan Kasih Indonesia (Gerkindo), di Gedung Joang 45, Meteng, Jakarta Pusat, Sabtu (3/3/2018).
"Kita punya regulasi terkait politik uang mengalami penguatan. Tapi ada kelemahan fundamental yang tidak memungkinkan mahar politik terjerat sanksi. Upaya sampai ke pemberian sanksi yang enggak pernah berhasil," kata Jeirry.
Regulasi yang makin ketat itu, kata Jeirry, jika pasangan calon terbukti memberikan mahar, maka pencalonannya dibatalkan. Sementara, partai politik yang terbukti menerima mahar bakal dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
(Baca juga: Kemendagri: Mahar Politik Racun Dalam Pelaksanaan Demokrasi)
Sementara sanksi yang sulit diterapkan, ia melanjutkan, dikarenakan sulitnya mencari saksi karena jarang ada yang mau melaporkan kasus tersebut. Tak jarang ditemui baik pemberi dan penerima tidak mengakui perbuatannya.
"Mungkin undang-undang bilang pemberi dan penerima akan kena sanksi pidana. Kalau gitu pemberi dan penerima diam-diam saja," ujar Jeirry.
Atau, kata dia, kalau pun ada saksi, tetapi saksi itu tak bersedia untuk memberikan keterangan.
"Maraknya mahar politik, kalau enggak ada yang mengadukan, sulit diproses atau dilakukan tindakan," ujar Jeirry.
Kemudian, Badan Pengawas Pemilu dan Panwaslu juga dinilai kerap terkendala keterbatasan kewenangan dalam memberikan sanksi.
"Ibarat Bawaslu dan Panwas diberi senjata, tapi enggak dikasih peluru," ujar Jeirry.