PADA Rabu malam 24 Mei 2017, teror bom kembali menerpa kita. Kali ini terjadi di terminal Kampung Melayu Jakarta Timur yang berakibat tiga orang anggota Polri gugur dan dua orang yang diduga pelaku tewas, 10 orang lainnya luka-luka.
Teror bom yang ke sekian kalinya itu adalah bentuk dari kebiadaban, musuh semua agama, dan menistakan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini karena teror tidak mengenal agama dan keyakinan, bisa mengenai siapa saja tanpa terkecuali.
Kepolisian menduga ledakan itu adalah berupa bom bunuh diri dengan menggunakan bom panci. Dipastikan dua terduga pelaku teror, ikut tewas di lokasi kejadian.
Petugas Polri sedang mengindentifikasi potongan dan serpihan anggota tubuh orang yang diduga adalah pelaku untuk menelusuri lebih lanjut siapa pelaku dan motifnya.
Para anggota Polri saat itu sedang melakukan tugas pengamanan di sekitar lokasi yang sedang ada kegiatan pawai masyarakat menjelang bulan suci Ramadhan. Ledakan terjadi di lokasi yang padat oleh aktivitas masyarakat karena menjadi halte koridor penghubung bus transjakarta dan terminal angkutan umum.
Kejadian ini tentu saja sangat memprihatinkan dan wajib kita kecam, karena telah meneror rasa aman dan ketentraman warga, membunuh dan melukai anggota Polri serta warga masyarakat, dan terjadi dua hari menjelang bulan yang agung dan suci, yaitu Ramadhan.
Baca juga: Korban Ledakan Bom di Kampung Melayu Bertambah Menjadi 15 Orang
Patut diduga, jika benar pelakunya ada dua orang, bom itu diduga dilakukan oleh dua orang "pengantin." Sebelumnya, polisi berhasil menggagalkan rencana bom pengantin di Bekasi yang hendak meledakkan diri di depan istana negara.
Para pelaku bisa belajar sendiri merakit bom dari informasi yang dikumpulkan di internet dan menebarkan ideologi sesatnya lewat media sosial. Media sosial telah menjadi alat propaganda yang efektif yang menyuburkan gerakan terorisme global.
Setelah wilayah Jakarta steril dari teror pascabom Thamrin pada 12 Januari 2016, teror bom Kampung Melayu tentu sangat mengagetkan, karena terjadi begitu tiba-tiba di tengah pusat keramaian kota Jakarta.
Apakah aparat keamanan kecolongan atau gagal mendeteksi gerakan teroris yang diduga adalah bagian dari kelompok ISIS itu?