KEBANGKITAN China telah mengubah kita semua, terutama di Asia Tenggara, menjadi sejarawan yang amatir.
Percaya atau tidak, inisiatif "One Belt One Road (OBOR)” yang dicanangkan Presiden Xi Jinping berakar di masa lalu.
Keanggunan, retorika dan tentu saja substansi dari acara megah, "Belt and Road Forum for International Cooperation" pekan lalu di Beijing tidak akan dapat dipahami jika Anda memilih untuk mengabaikan sejarah.
Hidup seperti kita yang berada di bawah "ketiak" China, membuat orang-orang Asia Tenggara tidak memiliki pilihan lain kecuali belajar lebih banyak tentang Middle Kingdom.
Mengingat kuatnya fokus maritim dalam OBOR, penting juga untuk memahami tantangan yang berubah-ubah di lautan China, yang membentang dari kekuasaan dinasti Han, Tang dan Ming hingga masa anti asing yang menakutkan dari dinasti Qing Manchu.
Dalam kaitan ini, “The Sea and Civilization: a Maritime History of the World" karya Lincoln Payne setebal 744 halaman memberikan suatu gambaran hebat tentang bagaimana peradaban besar menghadapi tantangan di lautan.
Menelusuri pasang surutnya keterlibatan China dalam maritim, saya berhasil mendapatkan lima poin penting.
Pertama, tidak adanya konsistensi yang jelas dalam hubungan China dengan negara Asia Tenggara. Lebih dari berabad-abad, hal itu telah berubah dari ketertarikan besar terhadap isolasionisme, yang terkadang terjadi dalam jarak beberapa tahun.
Menyaksikan kecepatan armada Ming yang hebat di bawah pimpinan Admiral Zheng He (1405-1433), secara tidak terduga justru berhadapan dengan ketatnya larangan perdagangan luar negeri.
Artinya adalah bahwa kita tidak dapat bergantung pada kepentingan jangka panjang China di wilayah kita.
Hal ini mengarah pada poin kedua saya, sejarah telah membuktikan bahwa para pemimpin China mudah terganggu ketika stabilitas internalnya terancam. Mengingat ukurannya, sumber daya yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan semacam itu telah menguras dana negara dalam jumlah sangat besar dan konstan.