JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti senior bidang perkembangan politik nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sri Yanuarti mendesak penyelenggara pemilihan umum untuk memperbaiki regulasi dalam proses demokrasi, agar proses yang terjadi di DKI Jakarta tidak terulang di daerah-daerah lainnya.
Menurut Sri, Pilkada DKI Jakarta adalah Pilkada yang tidak sehat di antaranya karena adanya kapitalisasi isu-isu agama dan politisasi politik identitas. Sri mengatakan, pada 2018 nanti akan ada 154 daerah yang melangsungkan pilkada serentak.
Dia berharap, proses yang terjadi di DKI Jakarta bisa menjadi bahan pembelajaran, agar problem yang muncul di ibu kota, tak terulang di wilayah lain.
"Karena menurut saya, kalau ini tidak ditangani secara baik, maka proses demokrasi seperti ini akan berulang. Dan berulangnya bisa serentak. Akan ada 154 daerah akan copying model itu, selesai kita sebagai bangsa," kata Sri di Jakarta, Rabu (3/5/2017).
(Baca: Penggunaan Politik Identitas Diprediksi Menguat hingga Pemilu 2019)
Sri mencermati salah satu bentuk kapitalisasi isu-isu agama terlihat dari masuknya materi-materi kampanye di rumah-rumah ibadah. Ia pun mengusulkan agar ada satu mekanisme komplain yang dibangun dan menjadi bagian dari aturan main para kandidat.
"Jadi harus ada regulasi baru. Mekanisme komplain dibuka. Entah nantinya Menag atau penyelenggara pemilu yang mengatakan, silakan siapapun boleh lapor jika ada masjid yang digunakan untuk kampanye," kata Sri.
Laporan tersebut nantinya bisa digunakan oleh pihak kepolisian, aparat keamanan, atau penyelenggara pemilu untuk melakukan penindakan. Sri mengusulkan, yang ditindak bukanlah si penyebar materi kampanye, namun kandidat atau calon peserta pemilu.
Selain itu, Sri juga meminta ada aturan main terkait mobilisasi massa. Menurut Sri, agak susah dimungkiri, mobilisasi massa yang dilakukan mendekati hari pemungutan suara tidak ditujukan untuk memberikan tekanan atau intimidasi.