"The saddest thing about betrayal is that it never comes from your enemies."
KOMPAS.com - Pujangga Inggris, William Shakespeare, kerap memasukkan unsur pengkhianatan dalam karyanya. Salah satunya adalah Marcus Junius Brutus Caepio dalam kisah Julio Caesar.
Brutus pada awalnya adalah teman seperjuangan dan sahabat dekat Julius Caesar. Namun, Brutus termakan hasutan sejumlah senator lain yang tidak puas akan kepemimpinan Julius Caesar.
Dia pun berkomplot untuk menggulingkan sahabatnya itu. Pada sebuah momen ketika Sang Kaisar naik mimbar, Publius Servilius Casca menarik lengan dan menikam leher Caesar.
"Sic semper tyrannis!" teriak Brutus—yang bermakna "matilah bersama tiran"—saat pembunuhan Caesar, seperti dikisahkan beberapa literatur.
Brutus diceritakan menutup sebagian wajahnya dengan jubah pada saat kejadian itu. Namun, Caesar ternyata tetap mengenalinya.
"Et tu, Brute (Engkau juga, Brutus)!" kata Caesar seolah tak percaya bahwa sang sahabat karib telah mengkhianatinya dan berkomplot untuk membunuhnya secara sadis.
Seusai pembunuhan itu, Brutus mengklaim bahwa dia dan komplotannya telah membebaskan Roma.
"Saya memang mencintai Caesar, tetapi saya lebih cinta Roma. Kita tidak perlu takut dia lagi. Utang ambisi itu telah dibayar lunas," ucap Brutus seusai pembunuhan Caesar.
Brutus dan komplotannya memang mendapat amnesti. Hanya, Octavianus, keponakan Caesar yang naik jabatan, lantas melabeli Brutus dkk sebagai pembunuh dan musuh negara.