Lihat ke Halaman Asli

Nasib Negara Pengimpor LPG

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1388911044476723180

Susah betul mengelola BUMN minyak dan gas bernama Pertamina. Menaikkan harga LPG, salah. Tidak menaikkan harga elpiji lebih salah lagi. Yang paling enak adalah para politisi. Cukup dengan modal pura-pura terkejut, lalu marah dan ngomong ngawur di media.

[caption id="attachment_304082" align="alignright" width="300" caption="LPG tabung 12 kilogram di sebuah rumah makan di Cirebon."][/caption] Selama ini, kita sering mendengar statemen para pengamat tentang potensi gas dalam negeri. Konon, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia. Benarkah? Bisa jadi statemen itu benar. Tapi jangan salah. Memiliki cadangan gas alam tidak sama artinya dengan kemampuan menyediakan gas alam cair!

Analogi yang lebih sederhana adalah begini: Wilayah DKI dikelilingi sejumlah daerah yang memiliki sumber air bersih yang melimpah. Misalnya, kawasan Purwakarta, Bogor dan Banten. Seharusnya, cadangan air bersih di berbagai wilayah itu cukup untuk memasok seluruh kebutuhan air bersih bagi warga DKI. Faktanya, masih banyak warga di wilayah DKI yang belum bisa menikmati air bersih. Mengapa? Karena untuk menjadikan cadangan air bersih menjadi air bersih yang siap dikonsumsi membutuhkan proses untuk menyalurkan cadangan air bersih sampai ke rumah-rumah penduduk DKI. Apakah disalurkan dalam bentuk kemasan. Apakah disalurkan melalui pipa jaringan. Memproses cadangan air bersih menjadi air bersih siap konsumsi relatif sederhana. Tidak seperti memproses dari gas alam menjadi gas alam cair. Mengonversi gas menjadi cairan membutuhkan teknologi dan modal yang tidak sedikit. Kalau negara sudah memiliki teknologi dan modalnya, masih perlu waktu beberapa tahun lagi untuk membangun sarana dengan semua fasilitas pendukungnya. INDONESIA IMPORTIR LPG Inilah yang terjadi di Indonesia hari ini. Sebagai salah satu negara dengan cadangan gas terbesar di dunia, Indonesia baru bisa menyediakan LPG alias gas alam cair sekitar 50 persen untuk kebutuhan dalam negeri. Kemampuan itu pun baru bisa tercapai pada akhir 2013 setelah PT Pertamina Hulu Energi dan Petrochina menandatangani penjualan LPG dengan PT Pertamina. Berikut kutipan berita dari Dunia Energi 26 Desember 2012. Dua Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) minyak dan gas bumi meastikan memberikan tambahan pasokan LPG untuk kebutuhan dalam negeri itu, adalah PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dan Petrochina. Keduanya menandatangani perjanjian penjualan (Sales Purchase Agreement/SPA) LPG dengan PT Pertamina (Persero) di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Rabu, 26 Desember 2012. Dalam kesepakatan yang diteken di hadapan Menteri ESDM, Jero Wacik itu disebutkan, PHE dan Petrochina akan memasok LPG sebesar 0,6 juta metrik ton (MT) dari kilang LPG Tanjung Jabung, Jambi ke Pertamina, selama satu tahun pada 2013. Pada perjanjian kedua yang juga diteken pada kesempatan itu disebutkan, PHE dan Petrochina akan memasok 0,0035 juta MT dari kilang LPG Bermuda di Sorong, Papua kepada Pertamina. Perjanjian ini juga berlaku selama satu tahun di 2013. Bila kemampuan produksi LPG dalam negeri baru 50 persen, dari mana pasokan kekurangan pasokan dalam negeri? PT Pertamina (Persero) mengungkapkan 50 persen kebutuhan gas LPG di Indonesia diimpor dari luar negeri khususnya dari perusahaan Saudi Aramco. Hal ini disebabkan kapasitas kilang Pertamina yang tidak mencukupi. (Sumber: Kantor Berita Nasional ANTARA, 22 Februari 2013). GEJOLAK NILAI TUKAR Karena suplai impor LPG yang tinggi, pelemahan nilai tukar rupiah di pasar internasional, menjadi pukulan berat bagi Pertamina untuk mempertahankan harga jual LPG di dalam negeri. Ditambah lagi dengan langkah Saudi Aramco menaikkan harga patokan contract price (CP). Sebelumnya, CP Aramco adalah USD 880 per barel. Saat ini CP Aramco mencapai USD 1.172 per barel, dengan kurs Rp12.000 (Sumber: Bisnis Indonesia, 9 Desember 2013) Data Pasokan LPG Pertamina 2013: Impor : 2,82 juta MT KKKS : 1,61 juta MT Kilang Pertamina : 887.572 MT Kilang swasta nasional : 105.026 MT. KEBIJAKAN SUBSIDI LPG Pertamina menyalurkan LPG kepada konsumen dalam beberapa ukuran. Untuk konsumen rumah tangga, ukuran normalnya adalah LPG tabung 3 kilogram untuk kelompok rumah tangga yang berpenghasilan rendah dan LPG tabung 12 kilogram untuk kelompok rumah tangga berpenghasilan menengah. Untuk kelompok rumah tangga berpenghasilan rendah, pemerintah menetapkan subsidi untuk menutup kerugian Pertamina. Besarnya subsidi dihitung dari selisih harga jual LPG 3 kilogram dengan harga keekonomian produksi LPG di Pertamina. Jumlah LPG subsidi diatur dalam APBN yang ditetapkan pemerintah dan DPR. Untuk tahun 2013, jumlahnya ditetapkan 4,39 juta ton. Dari jatah tersebut, Pertamina telah menyalurkan 4,41 juta metrik ton atau lebih tinggi sekitar 0,5% dari kuota APBN.

HARGA LPG NON SUBSIDI Berbeda dengan LPG tabung 3 kilogram yang disubsidi, pemerintah tidak memberikan subsidi untuk LPG tabung 12 kilogram. Pertamina terakhir kali menaikkan harga LPG 12 kilogram pada Oktober 2009 sebesar Rp 100 per kg. Bila sebelumnya harga LPG tabung 12 kilogram Rp 5.750 per kilogram, dengan kenaikan tersebut menjadi menjadi Rp 5.850 per kilogram. 

Walau harga LPG tabung 12 kilogram diserahkan pada mekanisme pasar, pemerintah tetap memberi panduan kepada Pertamina dalam menetapkan harga jual LPG tabung 12 kilogram itu. Pasal 25 Peraturan Menteri ESDM No 26/2009 menyebutkan harga jual LPG untuk pengguna LPG Umum ditetapkan oleh badan usaha dengan berpedoman pada harga patokan LPG, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian.

Berdasar arahan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri No 26/2009 tersebut, bukan sebuah kesalahan bagi Pertamina menaikkan harga LPG tabung 12 kilogram. Faktanya, Pertamina telah mempertahankan harga jual LPG tabung 12 kilogram sejak tahun 2009 dengan risiko rugi. Kerugian itu disebabkan harga jual yang sudah tidak sesuai dengan harga keenonomian produksinya. Para politisi itu sebenarnya tahu kalau harga Indonesia masih mengimpor 50 persen LPG dari pasar internasional. Para politisi juga tahu kalau harga patokan LPG di pasar internasional sudah naik. Para politisi juga tahu kalau Pertamina sudah mempertahankan harga LPG tabung 12 kilogram sejak 2009. Tetapi, para politisi itu tidak mau dinilai tidak peduli. Toh, modal kepedulian para politisi itu hanya ''marah'' sambil ngomong ngawur di depan media. Ingat, empat bulan lagi mereka akan menjadi kontestan dalam pemilihan umum legislatif. Jadi harus pintar-pintar mencari cara gratis masuk layar televisi! BERHARAP PADA PRESIDEN BARU Marah tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi, marahnya para politisi. Menyalahkan Pertamina juga tidak menyelesaikan masalah. Sebab akar persoalannya bukan pada Pertamina, tetapi pada struktur pasokan LPG dalam negeri yang masih mengandalkan impor dengan jumlah cukup tinggi. Harapan sekarang bertumpu pada calon presiden baru. Apakah presiden hasil Pemilihan Umum 2014 nanti memiliki program ketahanan energi dalam negeri? Kita bisa membaca track record masing-masing calon presiden yang saat ini telah mengemuka. Silakan Anda memilih siapa pun calon presiden yang memiliki komitmen dalam mengatasi persoalan energi dalam negeri. Saya memilih Dahlan Iskan, figur yang telah merasakan betapa sulitnya melayani rakyat kalau pemerintahnya tidak punya komitmen menguasai sumber energi dalam negeri. Saya pilih Dahlan Iskan, dengan kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia. Joko Intarto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline