Lihat ke Halaman Asli

Berbagi Pengalaman Mengintip Bulan Sabit

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

’Kapan mulai puasa Ramadan? Sabtu (28/6) atau Minggu (29/6)?’’ Itulah pertanyaan yang popular di kalangan umat Islam di Indonesia sejak sepekan terakhir.

Untuk mengetahui kapan dimulainya puasa Ramadan, Menteri Agama hari ini (27/6) akan memimpin sidang isbat di kantor Kementerian Agama Jl MH Tamrin. Rapat yang akan menetapkan awal Ramadan itu akan dihadiri berbagai ulama dan pemimpin organisasi keagamaan di Indonesia.

Ada dua metode yang lazim digunakan para ulama dalam menetapkan awal Ramadan, yakni hisab dan rukyat. Metode hisab menggunakan perhitungan astronomi untuk penentuan hilal atau terbitnya bulan sabit di ufuk barat sebagai tanda dimulai bulan baru. Sedangkan metode rukyat menetapkan awal bulan baru dengan menggunakan penglihatan langsung, baik dengan mata telanjang maupun alat bantu (teleskop).

Kedua metode itu acap kali melahirkan keputusan tentang awal Ramadan yang berbeda. Menurut perhitungan astronomi, bulan sabit telah terbit. Namun karena rukyat tidak berhasil melihat terbitnya bulan sabit yang berlangsung hanya beberapa menit iyu akibat terhalang mendung, hujan atau kabut tebal, awal puasa ditetapkan sehari kemudian.

Meskipun perbedaan merupakan sebuah rahmat, kebingungan masyarakat awam tetap tidak terhindarkan. Karena itu, berbagai kalangan yang memiliki kompetensi dalam bidang astronomi dan pelayanan umat muslim tidak pernah berhenti berupaya mencari metode baru yang bisa menjadi kompromi antara hisab dan rukyat.

Astrofotografi Sebuah Solusi

Astrofotografi merupakan sebuah metode baru yang bisa digunakan untuk menetapkan awal bulan dalam tarikh Hijriyah. Metode ini bisa merekam pergerakan bulan tidak hanya pada saat terjadinya konjungsi bersamaan dengan waktu tenggelamnya matahari, tetapi sudah bisa ‘’melihat’’ posisi bulan sejak pagi hari. Pergerakan inilah yang direkam menggunakan teknik fotografi dan videografi. Hasilnya dianalisa secara matematis dan astronomis, sehingga bisa menetapkan kapan saat terjadinya ‘’peralihan’’ dari bulan akhir ke bulan baru tanpa terpengaruh hujan, mendung atau kabut.

Istilah astrofotografi berasal dari kata ‘’astronomi’’ dan ‘’fotografi’’. Secara mudah, astrofotografi adalah penggunaan teknik perekaman objek-objek astronomi seperti bulan, bintang, nebula dan galaksi. Dengan kemajuan teknologi, astrofotografi bisa menghasilkan rekaman berupa foto dan video.

Adalah Ir Agus Mustofa, wartawan ‘’Jawa Pos’’ yang menjadi penggagas pemanfaatan astrofotografi untuk penetapan 1 Ramadan pada tahun ini. Persahabatannya dengan Thierry Legault, salah satu ahli astrofotografi terbaik di dunia asal Prancis, mendorong Agus untuk bersafari menemui Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama sejak akhir tahun 2013. Agus yang dikenal sebagai penulis buku tasawuf modern itu juga aktif melakukan kegiatan seminar, workshop dan festival astrofotografi di berbagai kota.

Kerja keras Agus Mustofa dan Thierry Legault sepertinya tidak sia-sia. Pada proses penetapan 1 Ramadan tahun ini, PP Muhammadiyah dan PB Nahdlatul Ulama memberi dukungan penuh untuk penggunakan metode astrofografi.

Sejak Kamis (26/6) sebanyak enam tim astrofotografi telah diberangkatkan ke pos pemantau hilal di 6 wilayah. Keenam tim dijadwalkan melakukan rukyat pada hari Jumat (27/6) mulai pukul 13.09 waktu setempat atau setelah salat Jumat hingga matahari terbenam sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Keenam tim merupakan gabungan dari berbagai elemen, antara lain PB Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, perguruan tinggi negeri dan swasta, astronom, peneliti serta praktisi.

Live Streaming Rukyat

Terkait dengan strategisnya pelaksanaan astrofotografi sebagai metode baru untuk menyatukan hisab dan rukyat, PT Jagat Pariwara Media Citra (Jagat Productions) sebagai penyedia jasa produksi video live streaming di Jakarta berinisiatif menyelenggarakan produksi siaran langsung. Untuk itu,  Jagat menggandeng 2Q Creative sebagai penyedia sistem, PT Prakarsa Persada sebagai penyedia server, PT Remala Abadi sebagai penyedia bandwidth. Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) turut berperan besar karena telah membangun infrastruktur telekomunikasi pedesaan di enam lokasi rukyat.

Dalam ujicoba pada hari Kamis (26/6), live streaming berhasil dilakukan dari Malang, Solo, Semarang dan Banda Aceh dengan kualitas gambar yang cukup baik. Namun live streaming dari Gunung Kidul dan Surabaya belum berhasil karena kendala teknis cuaca dan tidak cukupnya bandwidth di lokasi pemantauan hilal. Menjelang pelaksanaan rukyat hari Jumat (27/6) ini, live streaming ditargetkan bisa terselenggara dari titik pantau Surabaya.

Berbeda dengan saat ujicoba, cuaca pada hari Jumat di 6 titik pantau hilal cenderung kurang bersahabat. Langit berawan, mendung, kabut dan hujan. Titik Aceh yang menurut perkiraan cuaca paling cerah, ternyata tertutup mendung hingga pukul 14.00. Hal ini membuat tim astrofotografi mengalami kesulitan untuk memotret keberadaan bulan.

Situasi di Parang Tritis malah lebih parah. Hari Kamis, pantai wisata itu diguyur hujan sejak siang hingga malam. Pada hari Jumat, mendung dan kabut seperti tidak mau pergi. Selain itu, bandwidth internet tidak cukup untuk mengirim data video. Praktis pemantauan di Parang Tritis gagal.

Begitulah suka-duka produksi video live streaming di Indonesia. Meski ada beberapa kawasan yang masih kekurangan bandwidth, namun kondisi ini sudah jauh lebih baik dibanding dua atau tiga tahun lalu. Pada masa mendatang, kondisinya akan semakin baik lagi karena infrastrukturnya pasti semakin sempurna mengikuti tuntutan zaman.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline