Selama menjadi wartawan ‘’Jawa Pos’’ sejak 1991, saya pernah satu kali merasakan pengalaman didemo massa karena sensitivitas rasa keagamaan masyarakat Surabaya.
Pengalaman itu terjadi pada 1991. Waktu itu, saya baru bekerja sebagai wartawan pemula sekitar dua bulan. Malam itu, saya tidak pulang ke rumah kos. Saya tidur di kantor karena harus mengetik feature hingga lepas subuh.
Sekitar pukul 10.00, kantor ‘’Jawa Pos’’ di Karah Agung, Surabaya Barat, sudah didatang sekitar 100 orang bersorban dan berbaju serba putih. Mereka bergerombol di depan pintu gerbang.
Jumlah demonstran terus meningkat setelah dzuhur. Hitungan saya lebih dari 3.000 orang. Kantor ‘’Jawa Pos’’ betul-betul terkepung. Halaman kantor penuh dengan demonstran.
Tanpa bertanya kepada mereka, saya segera tahu. Rupanya mereka sedang berdemonstrasi karena ada sebuah artikel yang terbit pada hari itu yang dinilai menyinggung rasa keagamaan umat muslim.
Saya masih ingat. Saat itu menjelang hari besar Maulid Nabi. Redaksi ‘’Jawa Pos’’ menurunkan sebuah artikel opini. Ternyata, ada kesalahan ketik pada artikel itu. Huruf ‘’n’’ pada kata ‘’nabi’’ terketik dengan huruf ‘b’’.
Memang posisi ‘’n’’ dan ‘’b’’ pada keyboard komputer berdampingan. Posisi kedua huruf itu memaksa semua wartawan, editor dan korektor harus ekstra hati-hati. Salah ketik bisa menimbulkan bahaya besar.
Demonstrasi akhirnya bubar menjelang magrib setelah Pak Dahlan Iskan sebagai direktur utama sekaligus pemimpin redaksi berdialog dengan pengunjuk rasa. Keesokan paginya, ‘’Jawa Pos’’ membuat berita klarifikasi ‘’kecelakaan’’ dalam pengetikan itu.
Secara internal, klarifikasi dianggap Dahlan belum cukup. Dahlan minta semua mencari solusi bagaimana cara mencegah agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi. Dahlan menegaskan harus bisa mencari solusi karena tombol ‘’n’’ dan ‘’b’’ di komputer seluruh dunia memang berdampingan dari pabriknya.
Setelah berpikir keras, akhirnya ditemukan juga solusinya. Wartawan sebisa mungkin menghindari menulis kata ‘’nabi’’ dalam pemberitaan. Kata ‘’nabi’’ diganti dengan ‘’rasul’’. Kelima huruf itu, letak tombolnya tidak berdekatan. Kalau salah ketik juga tidak menimbulkan pengertian yang kontroversial.
Demonstrasi tahun 1991 itu masih terus saya ingat sampai sekarang. Pemilihan kata ‘’rasul’’ juga terus saya utamakan sampai sekarang. ‘’Selama pabrik komputer masih menempatkan tombol ‘n’ dan ‘b’ bersebelahan, risiko salah ketik yang fatal akan tetap terjadi. Semua wartawan harus ingat ini,’’ kata Dahlan yang terus terngiang sampai sekarang, setiap kali saya mengetik.