Lihat ke Halaman Asli

Kompasianer Palembang

TERVERIFIKASI

Kompasianer Palembang

Bincang Sastra Bersama Okky Madasari

Diperbarui: 31 Januari 2019   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. Kompal


"Nama adalah penjara identitas sejak lahir",  sebuah pernyataan menarik dari seorang penulis novel, Okky Madasari pada bincang Sastra yang diadakan di Sinebe Food, Kawasan Bukit Palembang 28 Januari 2019. 

Meski sempat diwarnai dengan hujan tidak menghilangkan semangat kompal untuk hadir malam itu. Adalah Bimo, Agus, Ara, Murni, serta Nindy dan tidak ketinggalan Bikcik Ika ikut hadir dalam acara bincang malam itu, yang dimulai pukul 19.30 WIB.

Okky Madasari, seorang penulis yang mendapat pernah menyabet penghargaan Sastra Khatulistiwa di Tahun 2012 dengan karyanya Maryam. Novelnya yang mengangkat isu sosial terutama isu gender baik dari novelnya Seperti : Entrok, Maryam , 86 dan Pasung Jiwa.

Ia menceritakan bagaimana ia menggambarkan latar belakang ceritanya tentang otoriter masa orde baru dalam novel-novelnya. Menjadi menarik karena memang sasaran pembacanya bukan orang-orang yang mengalami masa orba, tetapi justru ditargetkan kepada generasi Y dan Z yang sama sekali tidak pernah mengalami masa orba, bahkan ada yang lahir setelah orba runtuh. 

Tetap wefie kompal

Sebuah pertanyaan menarik dilontarkan mengapa nama-nama tokoh pada novel Okky selalu dimulai dari kata Ma, imajinasi kami terlalu liar karena kata Ma, dalam aksara mandarin bermakna banyak mulai dari kuda hingga ibu. 

Ternyata jawaban dari Okky simpel, bahkan ia baru menyadari hal tersebut, termasuk pada novel anak yang ditulisnya , di tahun 2019 ini akan diterbitkan novel ketiganya. Matara, yang memang terinspirasi nama putrinya. Kata Ma juga kemungkinan terpengaruh dari namanya sendiri Madasari.

Tetapi, memang pemilihan nama pada sebuah tokoh juga tak semabarangan, ia contohkan saat Maryam diminta menamai anaknya dengan nama yang relijius, tetapi ia menolak sehingga memberi nama Mandalika, nama yang jauh dari kesan  relijius dalam hal ini Islami. 

Tetapi tampaknya Mbak Okky lupa, bahwa bagi pencinta laut dan penjelajah laut di bagian timur sana, nama Mandalika tentu tak sembarangan, apalagi yang erat dengan tradisi nyale.

Begitu pun nama Sasana dalam Pasung Jiwa, yang sangat maskulin karena diasosiasikan dengan  yang berubah menjadi Sasa yang lebih terkesan feminim. Nama adalah penjara identitas sejak lahir, bahkan hal inilah yang menunjukkan bagaimana identitas hanya dari sebuah nama.


Boleh jadi sebagaimana pernah diungkapkan Romeo pada Juliet " dalam drama  yang ditulis  William Shakespeare  "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet." (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi)".

Tetapi melalui nama-nama pada tokohnya juga,  Okky dapat bercerita banyak mengenai tokoh dan latar belakang tokoh dalam novel-novelnya itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline