Kegalauan publik akibat propaganda politik pasca pemilu (pileg dan pilpres) akhir-akhir ini memang menguras banyak energi. Kita terpecah menjadi orang sana dan orang sini. Dan saya berharap usai sudah perdebatan kita dan tidak lagi saling mengejek.
Politik, bagi saya, sesuatu yang alergi dan membosankan, dan sebenarnya saya memang setengah tidak punya niat untuk menulis ini, tapi karena kepedulian hidup bernegara yang sangat tinggi, saya coba memulai menulis ini meski dengan ulasan sederhana.
Pada konteks keindonesiaan dan kehidupan bernegara kita saat ini (selepas Pilpres), saya menggunakaan bacaan pemikiran ke dua filsuf yunani kuno yakni Plato dan Aristoteles. Keduanya mengajak kita semua masyarakat indonesia yang lucu-lucu ini untuk kembali pada persatuan dan kesatuan serta mengapa kita perlu hidup-bersama dalam bernegara.
Pandangan keduanya memang berbeda satu sama lain, bahkan bertolak belakang. Namun keduanya tetap memberikan suatu prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam negara demokrasi sepertihalnya di Indonesia.
Plato menggarisbawahi keterjaminan sektor ekonomi, yakni pemenuhan kebutuhan material setiap warga negara. Sementara Aristoteles memusatkan pemikirannya pada kebebasan partisipasi setiap warga negara dalam suatu komunitas politik.
Plato (428-348 SM): Pemenuhan Kebutuhan Material Mengenai asal-usul negara, Plato bertolak dari karateristik alamiah pada manusia. Ada dua hal pokok yang dia perhatikan. Pertama adalah kenyataan bahwa setiap manusia ingin bertahan hidup. Kedua, setiap orang mempunyai kemampuan dan keterampilan yang berbeda. Bertahan hidup adalah prinsip dasar adanya suatu negara.
Setiap orang butuh makan-minum, rumah, dan pakaian untuk tetap hidup, akan tetapi kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak bisa dipenuhinya sendiri. Keberadaan orang lain dipandang perlu. Jadi negara adalah sekelompok orang yang bersepakat untuk tinggal bersama dalam suatu teritori tertentu untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain. Hidup bersama itu berkembang menjadi kian kompleks.
Sebab tidak lagi terbatas pada urusan bagaimana memenuhi kebutuhan dasar bagi setiap warga negara lagi. Ada hal-hal lain yang dituntut dari suatu kelompok, misalnya soal pengaturan potensi-potensi manusia di dalamnya, keamanan dan ancaman pihak luar, dan tentang hubungan antarwarga negara, dan tentang masa depan sebagai suatu kelompok.
Dengan sendirinya, komunitas tersebut membutuhkan suatu penataan. Kebutuhan penataan melahirkan spesialisasi. Plato mengatakan tidak semua orang bisa berpikir dengan baik, tidak semua orang punya stamina fisik yang kuat, tidak semua orang bisa membuat sepatu, dsb. Lalu Plato melakukan pembagian kelas-kelas masyarakat. Menurutnya, para filsuf lebih cocok sebagai pemimpin. Mereka amat mumpuni dalam berpikir.
Orang-orang yang kuat secara fisik dipilih menjadi tentara guna menghadapi ancaman dari luar. Mereka bertaruh nyawa demi keselamatan kelompok. Dan warga negara pada umumnya, yang bisa berperan sebagai tenaga sewaan, tenaga yang terampil, yang lemah dan cacat bisa tinggal di pasar untuk pengatur distribusi barang, tukang sepatu, dan lain-lain. seturut kemampuannya masing-masing.