Lihat ke Halaman Asli

Acek Rudy

TERVERIFIKASI

Palu Gada

Petabhumi: Misteri Tembok Kutukan (Prolog)

Diperbarui: 28 Maret 2024   05:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desain cover novel petabhumi (sumber: dokumen pribadi)

Semenjak waktu diciptakan, saat yang paling dinantikan adalah kapan kiamat akan menghancurkannya.

Kiamat hanyalah perkara waktu, tiada seorang pun yang bisa lari darinya. Pada saat itu semua akan musnah. Manusia, harapan, dan peradaban. Segalanya. Begitu menakutkan. Akan tetapi, tiada yang lebih mengerikan bagi seseorang yang harus menerima kenyataan bahwa ialah takdir dari kiamat itu. 

**

Suara lolongan anjing membuyarkan lamunan Heng. Ia melepaskan kacamata, membersihkan lensanya dengan selembar kertas tisu di tangan, lalu mendesah panjang. Salah satunya harus mati, demi keutuhan marga Xiao. Aku melakukan hal yang benar, ia meyakinkan diri.

Untuk menguatkan keyakinannya, ia melihat ke sekelilingnya. Beberapa perempuan dan lebih banyak pria sedang berdiri mengenakan pakaian serbaputih. Pakaian yang sama melekat di tubuhnya, seragam dari para pemuka agama yang diyakininya.

Akan tetapi, malam ini mereka sedang tidak berada di rumah ibadah. Tidak ada juga upacara keagamaan yang akan berlangsung. Sekelompok manusia itu sedang berdiri di halaman belakang sebuah bangunan. Rumah keluarga leluhur marga Xiao. Menunggu sebuah peristiwa besar yang akan menentukan masa depan keluarga Xiao dan mungkin juga dunia.

Heng seharusnya senang. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang ayah dan kelahiran anaknya dihadiri oleh orang-orang penting keturunan Xiao. Ironinya, tatapan orang-orang di sekelilingnya semakin meyakinkannya bahwa ia harus tegar pada malam hari ini.

Suara tangisan bayi memecah keheningan malam. Kelopak mata Heng membesar, seiring dengan tubuhnya yang bergetar. Orang-orang yang berada di tempat itu sontak memandangnya. Tanpa suara pun, Heng tahu jika itu adalah perintah kepadanya untuk segera membuka pintu di hadapannya, dan masuk.

Heng masih enggan menggerakkan tubuhnya. Ia menutup mata, mengatupkan kedua telapak tangannya, merapalkan doa. Doa pemberi kekuatan!

"Masuklah, Anakku. Lakukanlah tugasmu." Suara seorang pria menegurnya. Heng terhenyak, lalu membalas titah dari si pria tua, 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline