Lihat ke Halaman Asli

Acek Rudy

TERVERIFIKASI

Palu Gada

"Warisan dalam Kamar Pendaringan", Tugu Keluarga nan Indah

Diperbarui: 18 Juni 2023   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warisan dalam Kamar Pendaringan, Tugu Keluarga nan Indah (gambar: kompasiana.com, property of Widz Stoops)

Saya merasa terhormat. Mendapat kiriman manuskrip buku ini. Jauh sebelum ia menemukan wujud aslinya. Dalam bentuk buku fisik dan logo penerbit Elex Media Komputindo. Belum lagi Ketika saudari literasiku itu memintaku untuk mengisi bagian epilog. Ya, halaman terakhir dari rangkaian sebuah buku yang berjudul: Warisan dalam Kamar Pendaringan.

Saya baca manuskrip buku itu. Tuntas.

Gara-gara ini akhirnya saya tahu nama lengkap pengarangnya. Widiyati Wurian Stoops. Itu nama lengkapnya. Nama lengkap dari seorang Wanita yang benar-benar akrab denganku. Meskipun belum pernah bersua langsung, tetapi kita seolah-olah sudah kenal bertahun-tahun.

Namun, bukan itu yang membuat perasaanku membuncah. Kisah dari Emek, itu penyebabnya. Sekilas saya bayangkan, betapa majemuknya hidup bernusantara. Bhinneka Tunggal Ika memang seharusnya sakral. Sebagaimana kenyataan bahwa Indonesia ditakdirkan menjadi besar. Dan saya bangga terlahir di sini. Di Nusantara ini.

Kembali ke Emek. Kendati saya belum pernah bertemu langsung dengan Emek, buku ini sudah cukup apik mengobrak-abrik imajinasi saya. Sosok Emek. Sosok yang mengingatkan saya kepada nenek saya dari pihak Mama. Kami memanggilnya dengan wai-pho. Artinya nenek dari pihak luar. Pihak ibu.

Di balik penampilannya. Wai-pho yang sederhana terkandung makna hidup yang berwarna dan kaya. Wai-pho selalu mengingatkan anak cucunya untuk menjaga moral dan martabat keluarga. Wai-pho bukanlah orang yang berpendidikan tinggi. Ia harus lari bersembunyi pada zaman Jepang dulu. Saya terkadang berpikir, betapa susahnya hidup pada zaman itu. Mungkin saja kewelasasihan Wai-pho itulah yang menyelamatkannya.

Bagi kami, Wai-pho adalah gudang nasehat. Melihat kondisi saat ini dan membandingkannya dengan susahnya masa lalu yang ia alami. Termasuk gentong beras, yang disebut dalam kisah ini sebagai pendaringan.

Lucu juga membayangkan bagaimana Emek dan Wai-pho memiliki pesan yang sama. Takaran beras tidak bisa kosong, gentong harus berisi sisir dan kaca. Sayangnya, saya tidak pernah menanyakan hal itu kepada Wai-pho. Ia sudah tiada. Akan tetapi, melalui kisah di dalam buku ini rahasia itu akhirnya terkuak. Saya temukan pencerahan baru. Benar, kearifan lokal akan bertemu pada waktunya.

Bukan hanya itu. Abaikanlah resep, karena saya bukan perepot urusan dapur. Saya hanya suka menikmati hasil akhir, pencinta kuliner. Namun, buku ini tetap saja kubaca hingga titik penghabisan. Karena setiap resep terbalut dengan kisah kemanusiaan, tentang keluarga penulis yang dikupas tuntas.

Pada akhirnya, saya berhasil di bawa ke dalam rumah, di bilangan Matraman yang penghuninya masih setia menjaga warisan budaya leluhur mereka. Sungguh masih banyak yang ingin saya ungkapkan, tetapi biarlah pembaca menikmati buku ini. Sampai jenuh, sampai penuh. Kalau mau, sekalian menjajal resep dalam buku ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline