Setelah menuliskan pengalamanku selama 15 tahun membuka toko buku dan segala suka dukanya, aku kembali merenung. Sebuah pertanyaan singgah di kepalaku.
"Misalkan aku memiliki kesempatan untuk membuka kembali toko buku, apakah apa yang akan aku lakukan?"
Pertanyaan ini cukup menantang. Sebabnya aku terjebak di antara halu dan teori benalu.
Maksudnya demikian;
Pertama aku sebenarnya sudah tidak mau lagi menjalankan usaha toko buku, karena kesibukanku sudah beralih ke usaha yang lain.
Kedua, aku tidak yakin dengan kemampuanku. Baik dari sisi permodalan maupun tenaga.
Ketiga, ada perasaan kecewa untuk mencoba kembali ke wilayah yang pernah membuatku gagal.
Namun, tetap saja. Tidak ada hal yang tidak mungkin. Jadi, daripada hanya kupendam dalam hati, lebih baik rencana ini aku sebarkan saja di Kompasiana. Dengan harapan, kalaupun itu bukan aku, mungkin tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang di luar sana untuk menjalankan bisnis toko buku yang sudah hampir punah. Hitung-hitung, memberikan kontribusi kepada dunia literasi Indonesia.
Yuk kita simak.
Jangan Melakukan Investasi yang Terlalu Besar
Kesalahanku dalam berbisnis toko buku adalah melakukan investasi yang terlalu besar. Biaya pembangunan dan renovasi melebihi ekspektasiku. Hingga pada saat omzet tidak mendukung, aku kelimpungan.
Selain itu, jumlah pegawai yang aku libatkan juga terlalu banyak. Bisa dimaklumi, karena pada 1997 interaksi fisik masih sangat diperlukan. Belum ada teknologi yang mendukung kegiatan sosial media. Servis kepada pelanggan adalah hal utama.
Satu-satunya hal yang cukup membantu adalah gedung tempat usaha adalah milik keluarga. Sehingga tidak ada biaya tambahan untuk sewa.