Awalnya, saya nyinyir saat membaca berita yang singgah di lini masaku. Kiamat ATM sudah dekat, kira-kira seperti itu judulnya.
Bagaimana bisa dibilang kiamat. Bagi saya, mesin ATM adalah salah satu penemuan tercanggih di bidang keuangan. Sebelum ada ATM, duit diambil dari bank dan disimpan di rumah. Jika dompet kosong, buka laci meja. Kadang pakai teriak, "woiii... kunci di mana?"
Di zaman now, fungsi mesin ATM semakin canggih pula. Bisa untuk bayar tagihan, transfer, dan setor tunai. Mana mungkin kiamat ATM terjadi? terlalu mengada-ada.
Lalu ketika Reinhard, anak saya pulang dari Australia, ia berhasil membuatku shock. Kartu ATM dan Kartu Kredit-nya ia simpan di laci. Dompetnya hanya berisikan beberapa dokumen tidak penting, kecuali KTP dan SIM. Tidak ada uang juga di sana. Selembar pun.
"Kok gitu sih," aku protes kepadanya.
"Kan ada ini," jawabnya sembari memperlihatkan sederet aplikasi pada hapenya.
Tapi, saya tetap protes. Bagi orang Tionghoa, haram hukumnya jika tidak ada duit di dompet, "Tidak hoki," ujarku sambil memberikannya beberapa lembar uang kertas.
Si Reinhard terima saja, meski saya sedikit yakin jika lembaran uang yang kuberikan tidak akan berkurang dalam beberapa saat ke depan.
Mengapa? Karena memang ia merasa itu tidak penting. Semua transaksi sudah dilakukan secara digital. Semuanya telah dilakukannya, semenjak bersekolah di Singapura.
"Terlalu mengada-ada," sekali lagi itu yang terbersit dalam pikiranku. Bagi saya mesin ATM tetap yang terbaik. Semua transaksi kulakukan dari sana. Dan saya harap, kamu, kamu, dan kamu juga begitu. Hitung-hitung, marilah kita menjaga marwah generasi kolonial. Tidak perlu mencontohi anak milenial.