Sejujurnya saya baru benar-benar mengenal gaya hidup minimalis setelah topilnya muncul di Kompasiana. Penasaran, saya pun mulai menyusuri dunia maya.
Setelah membaca beberapa saat, pikiran ini tidak pernah terlepas dari bayangan wajah istriku. Semakin banyak aku memahami, semakin deras keringat ini mengucur.
Bagaimana tidak, itu adalah hal yang hampir tidak mungkin. Diriku membayangkan jika gaya hidup minimalis ini aku jelaskan padanya, maka burung pun berkicau di tengah malam.
Pada akhirnya saya harus mengakui, tidak semua yang sedang tren itu bisa diikuti.
Gaya hidup minimalis memang cukup bagus, mengusung konsep "less is more." Kesederhanaan yang membantu untuk menekan keserakahan dari konsumerisme.
Banyak manfaatnya, hidup tidak ribet, lebih ringkas, dan pada akhirnya lebih hemat.
Konsep ini sebenarnya sudah lama dipraktikkan. Sejak ribuan tahun para pertapa dan biksu telah hidup dengan kepemilikan yang minim. Namun gaya hidup ini baru menjadi populer dalam dua dekade terakhir.
Adalah Marie Kondo, seorang konsultan tata ruang dari Jepang. Ia bisa dibilang pencetus munculnya praktik minimalis. Rumah-rumah kecil di Jepang tidak lagi direpotkan dengan setumpuk barang tidak berguna.
Dari desain kemudian merambah ke gaya hidup. Caleb Backe, ahli kesehatan berkata jika konsep utama dari gaya hidup minimalis adalah berfokus kepada apa yang penting. Ini berarti menghilangkan hal-hal yang tidak "bikin bahagia."
Sampai di sini, konsep ini cukup jelas. Bahwa gaya hidup ini menyarankan seseorang untuk berperilaku sederhana. Hidup secukupnya sesuai kebutuhan.
Akan tetapi...