Alkisah seorang kakek pemilik kebun apel. Ia hidup bersama istri tercintanya.
Sang kakek terkenal dengan perangainya yang tak ramah. Kemana-mana ia selalu membawa pentungan. Tersebab apel di kebunnya memang tumbuh subur. Buahnya menjuntai, merah warnanya, menggoda siapa pun yang melintasinya.
Di dekat kebun sang kakek, ada sebuah lahan kosong. Di sana anak-anak kampung ramai berkumpul setiap sore untuk bermain bola. Jalan menuju ke sana dari desa, harus melalui trek yang melintasi kebun sang kakek.
Oleh karenanya, apel-apel sang kakek sering menjadi sasaran pencurian. Sang kakek yang pemarah ini pun kerjanya marah-marah. Setiap sore ia duduk dibatas depan antara kebun dan jalan menuju lapangan kosong.
Pada saat anak-anak melintas, ia selalu memperlihatkan muka garangnya dan tongkatnya yang panjang. Jelas, anak-anak kampung tidak berani macam-macam.
Hal yang sama terus ia lakukan selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya sang kakek sadar. Ia tidak lagi memiliki sahabat. Bukan hanya anak-anak kampung yang takut padanya, tapi para orangtua juga menyadarinya.
Pada suatu petang, sang kakek merenung. Apakah memang ia terlalu kasar dan pelit? Jika anak-anak kampun mengambil buah apelnya selusin dua lusin, apel di kebunnya tidak akan juga kekurangan.
Akhirnya sang kakek ini mulai insaf. Ia ingin berubah, meski hanya sehari saja. Dicarilah suatu waktu dimana sang kakek bertekad untuk memberikan apelnya dengan gratis.
Ia tetap berada di lokasi yang sama tempat ia biasa menunggu anak-anak kampung melintas. Tapi, kali ini ia bersembunyi di belakang semak-semak. Diam tak bergerak bak patung.
Sewaktu anak-anak melintas, mereka heran. Dimanakah gerangan sang kakek? Penasaran, satu demi satu menghentikan langkahnya. Mencoba mencari tahu dimanakah keberadaan sang kakek yang tak pernah absen berjaga.