Tulisan Kompasianer David Abdullah membuatku tersinggung. Ia menyebutkan serangkaian karakteristik yang berhubungan dengan lelucon bapak-bapak (baca: dadjokes).
Salah satu yang bikin hati paling panas adalah;"kaum bapak terkadang sadar jika kualitas humornya semacam earphone tigapuluh ribuan, gampang putus alias amat buruk!"
Nah, mengapa aku tersinggung? Ada dua hal yang menjadi penyebabnya.
Yang pertama, harus diakui, aku adalah bapak-bapak. Yang kedua, earphone tigapuluh ribuan kualitasnya buruk. Jelas itu salah, karena saya tidak pernah menjual barang buruk dengan kualitas 30.000-an, termasuk earphone yang ada di tokoku. Eh...
Kembali kepada lelucon bapak-bapak. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan David. Tapi, saya membayangkan dirinya sebagai seorang anak muda yang tidak lagi perjaka, eh, remaja.
Jelas, jalan hidup yang ia lalui akan mengarah ke satu tujuan nyata nantinya. Menjadi om-om senang. Jika memang demikian, maka suatu hari nanti, ia akan mengadu nasib dengan menjual earphone 30.000-an. Bedanya, kualitas David emang jauh lebih buruk dari punyaku.
Terminologi bahasa bapak-bapak itu jelas; a) Sudah beristri, b) Sudah punya anak, atau c) Dua-dunya salah - bisa jadi masih jomlo di usianya yang sudah memasuki puber kedua.
Secara psikologi dan fisiologi, bapak-bapak juga punya defenisi jelas; a) Sudah mulai ubanan (atau gundul), b) sudah mulai sakit pinggang, atau c) masih demem yang bening-bening.
Tapi, kalau lelucon bapak-bapak, defenisinya apa. Contoh Nyubit ama Nyusu Perawan itu bukan dari zaman saya lho. Itu asli milik Felix Tani yang sudah engkong-engkong dan jelas bukan bapak-bapak lagi.
Terus, jika lelucon itu diutarakan oleh Oji yang masih sibuk cari pasangan, apakah ia sudah termaksud bapak-bapak? Jika iya, artinya si Oji tukang bo'ong. Mengaku jomlo, mau cari anak perawan, tapi sudah a) ubanan, dan b) sakit pinggang.
Lebih lanjut, David juga berkata jika selera humor bapak-bapak itu sangat receh, garing, mirip rengginang yang akan terus menghantuimu.