Aku baru saja menahbiskan sebuah kursi kebahagiaan. Ia berada di teras rumahku. Terbuat dari kayu dengan bentuk unik mirip batang pohon.
Ada semacam ritual yang kulakukan. Tepat pukul 12 malam, kupejamkan mata. Aku sentuh ia dengan penuh konsentrasi. Dari dalam hati, mantra pun jadi energi.
"Jadilah dikau kursi yang mampu memberikan kebahagiaan. Mampu melenyapkan seluruh kesusahan, bagi siapa pun yang duduk di pangkuanmu."
Puluhan tahun kemudian setelah diriku meninggal, kursi itu masih ada. Ia tidak lagi berada di sana, tapi di tempat yang lebih layak.
Ia menjadi terhormat. Semua orang menandainya sebagai kursi keramat Engkoh Rudy, dukun angka Indonesia.
Tak heran jika kampungku ramai dikunjungi. Konon banyak yang menjadi bahagia setelah duduk di sana. Di tempat yang sering aku duduk berpuluh-puluh tahun yang silam.
Aku tentu memiliki alasan menahbiskannya. Masih banyak kursi di dalam rumahku. Namun, ia adalah kursi favoritku. Berada di posisi yang aku sukai.
Dudukannya sama sekali tidak empuk. Tidak ada bantal yang tersedia. Sama sekali tidak nyaman.
Tapi, itulah kebahagiaan...
Moyang tidak mengenal alas yang empuk. Dan mereka paham arti kebahagiaan. Hanya dengan menerima bahwa hidup itu memang apa adanya..
Kerasnya alas membuat badan sering sakit, tidak bisa duduk lama-lama di sana. Itu akibat tubuhku yang terlalu dimanja oleh sofa empuk yang lembut.