Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengeluarkan Surat Keputusan tentang hasil Tes Wawsasan Kebangsaan (TWK) kepada 75 pegawai yang tak lolos.
Isinya, ke-75 dinonaktifkan. Mereka resmi tidak lagi bekerja sejak 7 Mei 2021.
Perlawanan dilakukan, berbagai pihak mengeluarkan pendapatnya. Ada yang menuduh rekayasa politik di balik keputusan ini. Ada juga yang menyarankan agar kasus ini sebaiknya disikapi bijak.
Jangan sampai terjadi polarisasi di masyarakat. Bangsa ini masih harus berjibaku dengan masalah besar. Kondisi Covid-19 dan segala turunannya yang belum juga usai.
Polarisasi dukungan terhadap KPK bukan yang pertama. Tentunya kita mengingat kasus Cicak vs Buaya yang melegenda. Melibatkan dua institusi penegak hukum besar di Indonesia. KPK vs Polri.
Bukan hanya sekali, bahkan sampai tiga kali. Bagi yang sudah mulai lupa dengan kasus ini, marilah kita ulik bersama. Mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Semoga tidak akan pernah terulang lagi.
Cicak vs Buaya Jilid I
Terjadi pada Juli 2009. Berawal dari isi penyadapan KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri. Kala itu, Komjen Susno Duadji dituduh terlibat pencairan dana Budi Sampoerna di kasus Bank Century.
Adalah Susno yang pertama kali menelurkan istilah Cicak vs Buaya. Ia menganalogikan KPK sebagai cicak kecil dan Polri sebagai buaya.
Sebelumnya sudah ada sejumlah kasus yang mencuat. Penembakan Nasruddin Zulkarnaen sepulang dari lapangan golf Modern. Ketua KPK saat itu, Antashari Azhar dijadikan tersangka. Konon kisah asmara dengan seorang caddy menjadi penyebabnya.
Dari balik jeruji, Antasari memberi pernyataan bahwa pimpinan KPK menerima suap 6,7 miliar dari Anggoro Widjojo. Anggoro dijadikan tersangka dalam kasus suap yang melibatkan Departemen Kehutanan.
Puncaknya terjadi ketika Bareskrim Polri menahan dua Wakil Ketua KPK, Bibit Riyanto dan Chandra Hamzah. Aktivis anti korupsi langsung bergerak. Bereaksi keras atas tindakan Bareskrim.