Saat ini saya sedang berada dalam ruang kelas "Menulis Bersama Khrisna Pabichara (KP)," yang diselenggarakan oleh Komunitas Kompasianer Penulis Bersama (KPB).
Jangan bayangkan ruang hotel mewah, sekarang masa pandemi. Jangan pula pikirkan zoom cantik ala Kompasianival, tampang Daeng KP tidak sehat bagi jomlowati.
Lantas di mana? Tepatnya hanya dalam grup Whatsapp yang sekarang sudah berisikan 43 partisipan. Apa yang dilakukan oleh Daeng Khrisna? Ia hanya mengetik saja. Ingat, ia adalah seorang penulis.
Meskipun sebagai sesama Daeng dari Makassar, saya sempat terkecoh dengan nama belakang "Pabichara," yang dalam bahasa Makassar artinya "Tukang Bicara."
Awal perkenalanku dengan beliau, ya, di Kompasiana. Pada saat masih culung aku rajin membaca tulisan-tulisan yang berseliweran dari nama-nama yang kuusahakan teringat dalam benak.
Entah mengapa Daeng KP luput dari pengamatanku. Ia tidak berada dalam radarku. Entah karena sempat vakum menulis di saat pandemi menyerang, atau memang nama dan karyanya tidak menarik perhatian. Entahlah!
Hingga suatu saat pada saat aku menulis artikel fiksi dengan mengambil Daeng Rewa dan Daeng Malla sebagai nama penokohan. Daeng Khrisna hadir dalam kolomku, dan meninggalkan jejak;
KP: "Wah, ini termasuk pencemaran nama baik. Selaku orang yang bernama Daeng Rewa, saya tertawa. Salam Takzim, Bung." (tanpa emotikon).
RG: Wahh, maaf pak kalau kebetulan Namanya sama, Rewa dalam bahasa Makassar artinya berani, sementara Malla berarti takut.." (emotikon permohonan maaf plus gugup).
Baca juga: Daeng Rewa yang Takut Mati dan Daeng Malla yang Pura-pura Berani.
Jelas sebagai newbie, saya itu takut sekali kena semprot Kompasianer yang konon galak-galak. Apalagi beliau adalah orang Makassar. Bukan karena orang Makassar lebih galak, tapi masa sih sebagai orang Makassar lantas aku menyinggung perasaan sesama kompatriot sekampung? (pembelaan ala daeng malla).