Aku teronggok dalam gudang penuh debu selama dasawarsa. Yang menemaniku hanyalah sepeda mini keok berwarna kelabu. Setiap hari ia menangis, merindukan sahabatnya yang selalu ceria menungganginya, apa daya Kelly sekarang sudah berkuliah di Australia.
Aku mengatakan padanya, 10 tahun hanyalah awal dari kenestapaanmu, hingga engkau merasakan apalah artinya waktu bagi kaummu. Rodamu yang hilang hanyalah mula dari penyiksaanmu, hingga engkau merasakan kulitmu yang terkelupas.
Ia menangis keras tersedu, sepeda kelabu yang cengeng merindukan mengejar keong di pagi yang berembun. Aku tak mampu lagi bersikeras, sesaat merindukan ayuhan si Engkong yang telah meninggal akibat sakit jantung.
*
Pagi ini si Rudy menatapku dengan mata berbinar, seolah-olah baru saja memenangkan uang bermiliar-miliar. Aku menatapnya liar dengan lampu kecilku yang tidak lagi bersinar. Mengingatkanku pada si Engkong yang selalu mengelusku sebelum menyusuri trotoar.
"Go-wes" istilah yang tidak aku pahami ketika mendengarkannya bersuara di telpon genggam.
"Males" aku menjawab sendiri ketika membiarkannya membawa tubuhku yang penuh ruam.
"Bisa jadikan sepeda onthel" ujar si gendut yang berbau pesing.
"Sekalian aja jadi ondel-ondel" ujarku dalam hening.
"Woi! si Engkong memberikanku julukan 'Kumbang', tolol! Bukan Onthel!." Tak bergeming, si beruang dodol ini mulai mempreteliku sambil mengomel.
*